BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Yang
melatarbelakangi pembuatan makalah dengan judul “Analisa Kasus Tindak Pidana Berdasarkan Teori Recidive & Teori
Penghapusan Kewenangan”, ini adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah Hukum
Pidana Lanjut Fakultas Hukum Semester 3 – Universitas Semarang, dengan tujuan
untuk mengetahui dan memahami materi kuliah mengenai Pengulangan Tindak Pidana
( Recidive ) serta Penghapusan Kewenangan Penuntutan & Menjalankan Pidana.
Recidive
terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi
pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti dalam
concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam
recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Recidive merupakan alasan yang dapat
memperberat pemidanaan.
Recidive
tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur
secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa
kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian,
KUHP Indonesia saat ini menganut sistem
recidive khusus,artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang
waktu tertentu.
Sedangkan
hapusnya kewenangan penuntutan dan menjalankan pidana terjadi apabila seorang
pelaku tindak pidana baik pada saat sebelum maupun sesudah ditetapkannya vonis
putusan hakim, terjadi beberapa alasan yang membuat pelaku tindak pidana
tersebut tidak perlu menjalankan pidana sebagai akibat hukum dari perbuatan
yang dilakukannya maupu terbebas dari penuntutan pidana oleh jaksa penuntut.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana analisa kasus suatu tindak pidana
dengan menggunakan Teori Residive?.
2.
Bagaimana analisa kasus suatu tindak pidana dengan menggunakan Teori
Penghapusan Kewenangan Menjalankan Pidana?.
LANDASAN TEORI
II.1 PENGULANGAN TINDAK PIDANA
(RECIDIVE)
II.1.1 Pengertian
Residive atau pengulangan terjadi
apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht
van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan
Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa
pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum
ada putrusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Residive merupakan alasan untuk
memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada
dua sistem residive ini, yaitu :
a.
Sistim Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap
pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan
saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi
tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
b. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis
pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
Dalam KUHP ketentuan mengenai
Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur
secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam
Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Disamping itu di dalam KUHP juga
memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan
demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan
pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana
(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu
tertentu.
II.1.2 Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem Recidive
khusus, maka recidive menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan
tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan
antara :
1. Recidive terhadap
kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,
2. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan
tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”.
Ad. 1 : recidive terhadap
kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis” diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu
dalam Buku II KUHP yaitu dalam pasal: 137(2), 144(2), 155(2), 161(2),
163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis
kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana.
Persyaratan recidive disebutkan
dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya disyaratkan
sebagai berikut :
1. Kejahatan yang harus diulangi harus
sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2. Antara kejahatan yang terdahulu dan
kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Si pelaku melakukan kejahatan yang
bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303
bis dan 393 syarat ini tidak ada)
4. Pengulangannya dilakukan dalam
tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal terbseut, yaitu :
a. 2 tahun sejak adanya keputusan
hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan
321), atau
b. 5 tahun sejak adanya keputusan
hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Dengan adanya syarat keputusan hakim
yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan tetap, maka tidak ada recidive
dalam hal :
1. Keputusan hakim tersebut tidak
merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala
tuduhan” (vrisprajk) dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag)
berdasar Pasal 191 KUHAP.
2. Keputusan hakim terbut masih dapat
diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding
atau kasasi);
3. Keputusan hakim tersbut berupa
penetapan (beschikking) misalnya :
·
Keputusan
yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang
bersangkutan,
·
Keputusan
tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa karena terdakwa tidak melakukan
kejahatan.
·
Tidak
diterimanya perkara karena penuntutannya sudah daluwarsa.
Pada syarat keempat diatas
ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya putusan hakim yang
berkekuatan tetap. Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan
oleh hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan
itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai pemberatan pidana dalam
sistem recidive kejahatan yang sejenis ini berbeda-beda, yaitu :
1. Dapat diberikan pidana tambahan
berupa pelarangan atau pencabutan hak untuk menjalankan mata pencahariannya
(untuk delik-delik yang pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata
pencahariannya);
2. Pidananya dapat ditambah sepertiga
(khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3 hanya menyebut “pidana”
saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal
216 ayat 1 dapat ditambah sepertiga.
3. Pidana penjaranya dapat dilipatkan
dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan
penjara.
Ad. 2 : Recidive terhadap
kejahatan-kejahatn tertentu yang masuk dalam satu “kelompok jenis”
diatur dalam pasal 486, 487, 488KUHP
Adapun persayaratan recidive menurut
ketentuan pasal-pasal tersebut sebagai berikut :
1. Kejahatan yang diulangi harus
termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau
terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang
dimaksud ialah :
·
Kelompok
jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta benda dan
pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat (263-264),
pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan
(372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432),
penadahan (480, 481)
·
Kelompok
jenis kejahatan dalam pasal 487 pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang.
·
Kelompok
jenis kejahatan dalam pasal 488 pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan
yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan.
Dengan adanya kelompok jenis
kejatan-kejahatan seperti dikemukakan diatas, maka tidak dapat dikatakan ada
recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa (362) kemudian
melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (351) ataupun penghinaan (310)
karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang
berbeda-beda.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan
ringan tidak dimasukkan sebagai alas an adanya recidive, misalnyya pencurian
ringan (364) penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379), dan penadahan
ringan (482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal 486 KUHP. Begitupula
pulapenganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula dalam kelompok 487
KUHP. Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam KUHP sebenarnya dapat
dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok kejahatan pasal 488 KUHP, penghinaan
ringan (315) dimasukkan.
Menarik pula untuk diperhatikan
bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis kejahatan pribadi orang) tidak
disebutkan delik maker dalam PAsal 104 dan semua delik kesusilaan (pasal
281-303) misalnya perkosaan (285), perdagangan wanita (297), pengguguran (299),
dan perjudian (303).
Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan
diatas ternyata bahwa dalam sistem, KUIHP tidak semua kejahatan berat dapat
dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana)
2. Antara kejahatan yang kemudian
(yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada
putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat
kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak
berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa
beschikking.
3. Pidana yang dijatuhkan hakim
terdahulu harus berupa pidana penjara. Dengan adanya sayarat ini maka tidak ada
alas an recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan
terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4.
Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
- Belum
lewat 5 tahun :
- Sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
terdahulu, atau
- Sejak
pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan
2. Belum lewat tenggang waktu daluarasa
kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya : A pada tahun
1992 dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan (338) dijhatuhi pidana penjara 8
tahun. Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang
berikutnya antara lain :
- Apabila
A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum
lewat tahun 2005 (perhitungan : 1992 + 8 + 5).
- Apabila
A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat grasi atau
pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka tenggang waktu penggulangannya
adalah sebelum lewat 1999 (perhitungan : 1992 + 2 + 5).
- Apabila
A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 1994 melarikan
diri, maka tenggang waktu penggulanganya adalah sebelum lewat tenggang
waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu.
Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak
terdakwa melarikan diri. Jadi tenggang waktu recidivenya adalah sebelum
lewat tahun 2010 yaitu dihitung mulai tahun 1994 ditambah 16 tahun
(tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana untuk pasal 338
lihat pasal 84 KUHP)
Dari contoh ini dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih dari 5 tahun.
II.1 3 RECIDEVE PELANGGARAN
Dengan dianutnya sistem recidive
khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap
pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III KUHP.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam
Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya
pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492,
495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Adapun persyaratan recidive
pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada
umumnya sebagai berikut :
1. Pelanggaran yang diulangi harus sama
atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan
recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
2. Harus sudah ada putusan hakim berupa
pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
3. Tenggang waktu pengulangannya belum
lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap.
Berdasarkan syarat ketiga ini maka
perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak tergantung pada jenis
pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sduah
dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
II.2 HAPUSNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN
DAN MENJALANKAN PIDANA
II.2.1
Hapusnya Kewenangan Penuntutan
v Tidak
adanya pengaduan pd delik aduan (psl 72 – 75)
Yang berhak mengadu:
·
Jika
yang bersangkutan blm 16 tahun/belum cukup umur/dibawah pengampuan :
1. Wakilnya yg sah
2. Wali pengawas
3. Istri/suami
4. Keluarga sedarah garis lurus
5. Keluarga sedarah garis menyimpang
sampai derajat ke 3
·
Jika
yang bersangkutan meninggal :
1. Orang tuanya
2. Anaknya
3. Suami/istrinya (kec. Ybs tdk
menghendaki)
ð Tenggang waktu pengaduan :
·
6
bulan sejak mengetahui (berdomisili di Indonesia)
·
9
bulan (bagi yang berdomisili di luar negeri)
ð Penarikan kembali pengaduan : dalam
tenggang 3 bulan setelah diajukan.
·
Khusus
perzinahan (284) yang berhak mengadukan hanya suami/istri yang dirugikan. Dan
penarikan kembali dapat dilakukan sewaktu2 selama pemeriksaan sidang belum
dimulai.
·
Melarikan
wanita (332) yang berhak mengadu hanya wanita yang bersangkutan atau suaminya
(apabila sudah cukup umur), dan wanita yang bersangkutan dan orang yang memberi
ijin bila wanita itu kawin (bila belum cukup umur).
v Ne
bis in idem (Pasal 76)
Syarat ne bis in idem yang akan
menghapus penuntutan :
1. ada putusan (bukan penetapan) hakim
yang berkekuatan tetap.
2. Orang yang dijatuhi putusan adalah
sama;
3. Perbuatan yang ditunutt adalah sama dengan
yang pernah diputus terdahulu.
v Matinya
Terdakwa (Pasal 77) dan Matinya Terpidana (Pasal 83)
Hal
ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subjek hukum
hanyalah orang dan bertanggung jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada
suatu tanggung jawab pidana diwariskan.
Konsekwensi
dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa
menyebabkan kewenangan seorang Jaksa Penuntut menjadi gugur. Sementara kematian
seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi
terhapuskan.
v Daluwarsa
(Pasal 78)
Daluwarsa
dihitung sejak hari sesudah perbuatan dilakukan :
1.
Untuk
semua kejahatan dan pelanggaran percetakan : 1 tahun
2.
Untuk
kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 thn : 6
tahun
3.
Untuk
kejahatan yang diancam penjara lebih dr 3 tahun : 12 tahun
4.
Untuk
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup : 18 tahun.
ð Pelaku yang pada saat melakukan
kejahatan belum berumr 18 tahun, maka masing-masing daluwarsa dikurangi 1/3.
v Telah
ada pembayaran denda maksimum pada delik yang hanya diancam dengan denda (pasal
82). Dikenal juga sebagai lembaga hukum
“afkoop” (penebusan) atau “schikking” (perdamaian).
v Abolisi
atau Amnesti (di luar KUHP) UU no. 11/Drt/1954.
Dengan
pemberian amnesty, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan
tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan
penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan
sebelum adanya putusan.
II.2.2
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
a.
Yang
terdapat dalam KUHP :
1. Matinya terdakwa (psl 83)
2. Daluwarsa (psl 84, 85)
v Daluwarsa dimulai keesokan harinya sesudah putusan
hukum dapat dijalankan :
-
Untuk
semua pelanggaran : 2 tahun
-
Untuk
kejahatan percetakan : 5 tahun
-
Untuk
kejahatan lainnya : sama dengan
daluwarsa penuntutan
-
Tidak
ada daluwarsa untuk pidana mati
v Pencegahan (stuiting) daluwarsa dapat
terjadi :
1) Terpidana melarikan
diri selama menjalani pidana (daluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah
melarikan diri)
2) Pada pelepasn
bersyarat yg dicabut, maka daluwarsa dihitung baru (tdk melnjutkan yg dl) pd
esok hari setelah pencabutan.
Dengan adanya stuiting, maka
daluwarsa yang telah dilalui menjadi hilang (tidak diperhitungkan)
v Penundaan (schorsing) dapat terjadi
:
1) selama
prjalanan pid ditunda mnrt perundang-undangan ybl
2) selama
terpidana dirampas kemerdekaannya (dlm tahanan)
Adanya Schorsing hanya menghentikan
sementara daluwarsa, sdgkan daluwarsa yg tlh dilalui tetap diperhitungkan.
b.
Yg
terdapat di luar KUHP
v Amnesti
v Grasi (UU no. 22 Tahun 2002
Tentang Grasi)
Grasi tidak menghilangkan putusan hukum
ybs, hanya menghapus/ mengurangi/ meringankan pidana. Grasi dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis
pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
PEMBAHASAN CONTOH KASUS
III.1 Kasus Residivis Pencurian
Dengan Tersangka Yoyo (Recidive).
Residivis
Kambuhan Yoyo Ditangkap
Rabu,
22/08/2012 - 21:06
MAJALENGKA,(PRLM).-
Residivis kambuhan Yoyo Sahwo bin Aswa (30) warga Blok Senin, Ranji Wetan,
Kecamatan Dawuan, Kabupaten Majalengka ditangkap Polisi dari Polsek Dawuan ,
Kabupaten Majalengka, karena diduga telah melakukan pencurian 10 sepeda motor
selama kurun waktu enam bulan terakhir, Selasa (21/8).
Dia
ditangkap di rumahnya sekitar pukul 21.00 WIB, setelah diketahui telpon seluler
miliknya yang tertinggal di rumah korban Hadis (60) warga Desa Wanajaya,
Kecamatan Kasokandel, yang sepeda motornya di curi tersangka.
Menurut
keterangan Kapolsek Dawuan Komisaris Polisi H.Mukmin Hidayat, Rabu (22/8), aksi
pencurian yang dilakukan Yoyo berawal ketika Selasa dini hari Hadis kehilangan
sebuah sepeda motor jenis Honda Supra X, sementara di rumahnya terdapat sebuah
telpon seluler yang tidak jelas kepemiliknanya serta sebilah golok yang juga
tidak diketahui kepemilikannya.
Korban
kemudian melaporkan kasusnya ke Mapolsek Dawuan, malamnya beberapa nomor telpon
yang tertera pada telpon tersebut dicoba untuk dihubungi dan kesemuanya
menyebutkan kalau telpon seluler tersebut adalah milik Yoyo warga Desa Ranji
Wetan.
Setelah
diketahui pihak kepolisian kemudian langsung mendatangi ke rumahnya dan
menanyakan kebenaran kepemilikan tekpon seluler tersebut hingga aksi pencurian
sepeda kotor yang dilakukannya terhadap Hadis.
“Begiu
didatangi yang bersangkutan membenarkan kalau telpon seluler dan golok tersebut
adalah miliknya, diapun mengakui telah melakukan pencurian sepeda motor milik
Hadis,” ungkap Kapolsek H.Mukmin.
Berdasarkan
keterangan sementara, tersangka diketahui telah melakukan pencurian 10 sepeda
motor di berbagai tempat diantaranya di areal parkir di Kadipaten, Majalengka,
Dawuan, serta di beberapa rumah milik warga yang sepeda motornya sedang di
parkir di rumah. Modus pencuriannya mengambil sepeda motor di areal parkir
dengan menggunakan kunci T.
Yang
bersangkutan telah tiga kali masuk penjara dengan kasus yang sama, dan bahkan
dia baru keluar dari penjara dua tahun yang lalu. “Dia residivis ditangkap ke
empat kali sekarang, kasusnya sama pencurian sepeda motor,“ ungkap H.Mukmin.
Disampaikan
Mukmin pihaknya kini masih mengembangkan kasus tersebut dan mencari barang
bukti yang kesemuanya sudah di jual. Sementara itu Yoyo menyebutkan kalau
sepeda motor hasil curiannya sebagian dijual langsung kepada konsumen senilai
Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta, sebagian lagi di jual kepada salah seorang
penadah yang kini sedang dalam pengejaran petugas. (C-28/A-26).
ANALISA KASUS RESIDIVIS YOYO :
Uraian Recidive :
Menurut
doktrin, Yoyo telah melakukan recidive jenis khusus, yakni pengulangan tindak
pidana sejenis. Menurut system ini, tidak semua jenis pengulangan merupakan
alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
Recidive Khusus yang dilakukan oleh Yoyo termasuk
dalam kategori “Recidive terhadap
kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488 KUHP
“.
Penguraian Unsur Recidive Khusus Yoyo :
Terdapat persyaratan-persyaratan yang harus
terpenuhi dimana suatu tindak pidana dikatakan recidive khusus kelompok
sejenis, apabila:
1. Terutama
kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta
benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat
(263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan
(372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432),
penadahan (480, 481).
ü Dalam
hal ini, Yoyo telah melakukan tindak pidana kejahatan pencurian sepeda motor,
dimana Yoyo melanggar Pasal 363 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara
maksimal 9 tahun. Dengan demikian Yoyo telah memenuhi persyaratan pertama ini.
2. Antara
kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu,
harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap.
3. Pidana
yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.
ü Dalam hal ini, Yoyo telah tiga kali
masuk penjara dengan kasus yang sama, dan bahkan dia baru keluar dari penjara
dua tahun yang lalu. Sehingga Yoyo telah memenuhi persyaratan no.2 dan no.3 dimana pada kasus
sebelumnya, Yoyo telah dijatuhi hukuman pidana yang berkekuatan tetap.
4. Ketika
melakukan pengulangan, terdapat tenggang waktu.
ü Dalam
hal ini, Yoyo dalam melakukan kasus recidive-nya terdapat tenggang waktu 2
tahun dari kasus tindak pidana yang sebelumnya.
KESIMPULAN
:
Karena keempat persyaratan telah
dipenuhi, maka Yoyo merupakan Residivis Khusus dengan kasus pencurian, dimana
termasuk dalam kategori “Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang
termasuk dalam “kelompok sejenis”, terutama yang diatur dalam Pasal 486”.
Karena Yoyo terbukti telah melanggar Pasal 363 ayat (2) KUHP.
III.2 Kasus Pemberian Amnesti Kepada 30 Napi GAM (Penghapusan Kewenangan Menjalankan Pidana)
30 Napi GAM Peroleh Amnesti
Indosiar.com, Banda Aceh - 30 orang narapidana Gerakan Aceh Merdeka yang
mendekam disejumlah LP di Pulau Jawa dan Sumatera mendapat amnesti dari
pemerintah.
Suasana
haru mewarnai pertemuan para napi GAM dan anggota keluarga mereka di Bandara
Sultan Iskandar Muda dan di Markas Pusat GAM dan KPA dikawasan Desa Lam Dingin,
Banda Aceh.
Para
tapol ini dibebaskan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah RI dan Gerakan
Aceh Merdeka sesuai dengan nota kesepahaman damai di Helsinki. Setibanya di
Bandara Sultan Iskandar Muda mereka dijemput petinggi GAM, Kepala Kantor
Kehakiman dan HAM serta pihak Aceh Monitoring Mission.
Beberapa
napi mengaku sangat senang bisa kembali ke Aceh sebelum masa tahanan mereka
habis. Seluruh napi yang mendapat amnesti ini terlibat dalam beberapa kasus
pengeboman di sejumlah tempat diantara didepan kantor Walikota Medan dan teror
bom dibeberapa mall dan plaza di Medan. Mereka divonis antara 5 hingga 11 tahun
penjara.
Para
mantan GAM ini nantinya akan mendapat pembinaan badan reintegrasi Aceh dan
nantinya akan mendapatkan modal kerja untuk melakukan usaha. (Despriani
Zamzami/Sup)
ANALISA KASUS HAPUSNYA KEWENANGAN
MENJALANKAN PIDANA :
Berdasarkan uraian kasus diatas, ke-30
napi GAM tersebut telah terbukti malakukan pelanggaran tindak pidana seperti
kasus pengeboman dan terror bom dengan vonis hukuman penjara antara 5 hingga 11
tahun.
Oleh karena Pemerintah memberikan
amnesti kepada 30 napi GAM tersebut, maka para napi tersebut dapat terbebas dari kewenangan menjalankan
pidana.
Dalam hal ini, amnesti diberikan setelah
para napi divonis dengan hukuman akibat dari tindak pidana yang mereka lakukan.
Jadi, dengan adanya pemberian amnesti tersebut para napi tidak perlu
menjalankan kewajiban masa tahanannya sampai habis.
Amnesti berbeda dengan Abolisi, karena
amnesti diberikan setelah para pelaku pidana diputus oleh hakim dengan kekuatan
hukum yang tetap,sedangkan abolisi diajukan sebelum adanya putusan hakim,
sehingga dihapuskannya penuntutan terhadap para pelaku tindak pidana. Dalam
kasus ini, para napi diberikan Amnesti, sehingga yang dihapuskan adalah kewenangan
para napi dalam menjalankan pidana.
0 comments:
Post a Comment