Wednesday 17 April 2013

MAKALAH HUKUM PIDANA LANJUT


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Yang melatarbelakangi pembuatan makalah dengan judul “Analisa Kasus Tindak Pidana Berdasarkan Teori Recidive & Teori Penghapusan Kewenangan”, ini adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah Hukum Pidana Lanjut Fakultas Hukum Semester 3 – Universitas Semarang, dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami materi kuliah mengenai Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ) serta Penghapusan Kewenangan Penuntutan & Menjalankan Pidana.
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.  Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian, KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus,artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
Sedangkan hapusnya kewenangan penuntutan dan menjalankan pidana terjadi apabila seorang pelaku tindak pidana baik pada saat sebelum maupun sesudah ditetapkannya vonis putusan hakim, terjadi beberapa alasan yang membuat pelaku tindak pidana tersebut tidak perlu menjalankan pidana sebagai akibat hukum dari perbuatan yang dilakukannya maupu terbebas dari penuntutan pidana oleh jaksa penuntut.

I.2 RUMUSAN MASALAH
       1. Bagaimana analisa kasus suatu tindak pidana dengan menggunakan Teori Residive?.
2. Bagaimana analisa kasus suatu tindak pidana dengan menggunakan Teori Penghapusan Kewenangan Menjalankan Pidana?.
 BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
II.1.1 Pengertian
Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :
a.         Sistim Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
b.      Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
II.1.2  Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara :
1.      Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,
2.      Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”.
Ad. 1 : recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis” diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP yaitu dalam pasal: 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana.   
Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya disyaratkan sebagai berikut :
1.      Kejahatan yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2.      Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3.      Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada)
4.      Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal terbseut, yaitu :
a. 2 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b. 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan tetap, maka tidak ada recidive dalam hal :
1.      Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrisprajk) dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag) berdasar Pasal 191 KUHAP.
2.      Keputusan hakim terbut masih dapat diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);
3.      Keputusan hakim tersbut berupa penetapan (beschikking) misalnya :
·         Keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan,
·         Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan.
·         Tidak diterimanya perkara karena penuntutannya sudah daluwarsa.
Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap. Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini berbeda-beda, yaitu :
1.      Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau pencabutan hak untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata pencahariannya);
2.      Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3 hanya menyebut “pidana” saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 dapat ditambah sepertiga.
3.      Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
Ad. 2 : Recidive terhadap kejahatan-kejahatn tertentu yang masuk dalam satu “kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488KUHP
Adapun persayaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut sebagai berikut :
1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481)
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang.
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan.
Dengan adanya kelompok jenis kejatan-kejahatan seperti dikemukakan diatas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa (362) kemudian melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (351) ataupun penghinaan (310) karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda-beda.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukkan sebagai alas an adanya recidive, misalnyya pencurian ringan (364) penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379), dan penadahan ringan (482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal 486 KUHP. Begitupula pulapenganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula dalam kelompok 487 KUHP. Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam KUHP sebenarnya dapat dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok kejahatan pasal 488 KUHP, penghinaan ringan (315) dimasukkan.
Menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis kejahatan pribadi orang) tidak disebutkan delik maker dalam PAsal 104 dan semua delik kesusilaan (pasal 281-303) misalnya perkosaan (285), perdagangan wanita (297), pengguguran (299), dan perjudian (303).
Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam sistem, KUIHP tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana)
2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa beschikking.
3. Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara. Dengan adanya sayarat ini maka tidak ada alas an recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
  1. Belum lewat 5 tahun :
  • Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu, atau
  • Sejak pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan
2.      Belum lewat tenggang waktu daluarasa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya : A pada tahun 1992 dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan (338) dijhatuhi pidana penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain :
  • Apabila A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum lewat tahun 2005 (perhitungan : 1992 + 8 + 5).
  • Apabila A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka tenggang waktu penggulangannya adalah sebelum lewat 1999 (perhitungan : 1992 + 2 + 5).
  • Apabila A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 1994 melarikan diri, maka tenggang waktu penggulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri. Jadi tenggang waktu recidivenya adalah sebelum lewat tahun 2010 yaitu dihitung mulai tahun 1994 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana untuk pasal 338 lihat pasal 84 KUHP)
Dari contoh ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih dari 5 tahun.
II.1 3 RECIDEVE PELANGGARAN
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III KUHP.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut :
1.      Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
2.      Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
3.      Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap.
Berdasarkan syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sduah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).



II.2 HAPUSNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN MENJALANKAN PIDANA
            II.2.1 Hapusnya Kewenangan Penuntutan
v  Tidak adanya pengaduan pd delik aduan (psl 72 – 75)
Yang berhak mengadu:
·         Jika yang bersangkutan blm 16 tahun/belum cukup umur/dibawah pengampuan :
1.      Wakilnya yg sah
2.      Wali pengawas
3.      Istri/suami
4.      Keluarga sedarah garis lurus
5.      Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke 3
·         Jika yang bersangkutan meninggal :
1.      Orang tuanya
2.      Anaknya
3.      Suami/istrinya (kec. Ybs tdk menghendaki)
ð Tenggang waktu pengaduan :
·         6 bulan sejak mengetahui (berdomisili di Indonesia)
·         9 bulan (bagi yang berdomisili di luar negeri)
ð Penarikan kembali pengaduan : dalam tenggang 3 bulan setelah diajukan.
·         Khusus perzinahan (284) yang berhak mengadukan hanya suami/istri yang dirugikan. Dan penarikan kembali dapat dilakukan sewaktu2 selama pemeriksaan sidang belum dimulai.
·         Melarikan wanita (332) yang berhak mengadu hanya wanita yang bersangkutan atau suaminya (apabila sudah cukup umur), dan wanita yang bersangkutan dan orang yang memberi ijin bila wanita itu kawin (bila belum cukup umur).
v  Ne bis in idem (Pasal  76)
Syarat ne bis in idem yang akan menghapus penuntutan :
1.      ada putusan (bukan penetapan) hakim yang berkekuatan tetap.
2.      Orang yang dijatuhi putusan adalah sama;
3.      Perbuatan yang ditunutt adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.
v  Matinya Terdakwa (Pasal 77) dan Matinya Terpidana (Pasal 83)
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subjek hukum hanyalah orang dan bertanggung jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggung jawab pidana diwariskan.
Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa Penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.

v  Daluwarsa (Pasal 78)
Daluwarsa dihitung sejak hari sesudah perbuatan dilakukan :
1.      Untuk semua kejahatan dan pelanggaran percetakan : 1 tahun
2.      Untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 thn : 6 tahun
3.      Untuk kejahatan yang diancam penjara lebih dr 3 tahun : 12 tahun
4.      Untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup : 18 tahun.
ð  Pelaku yang pada saat melakukan kejahatan belum berumr 18 tahun, maka masing-masing daluwarsa dikurangi 1/3.
v  Telah ada pembayaran denda maksimum pada delik yang hanya diancam dengan denda (pasal 82). Dikenal juga sebagai lembaga hukum “afkoop” (penebusan) atau “schikking” (perdamaian).

v  Abolisi atau Amnesti (di luar KUHP)    UU no. 11/Drt/1954.
Dengan pemberian amnesty, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya putusan.

II.2.2 Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
a.         Yang terdapat dalam KUHP :       
1.      Matinya terdakwa (psl 83)
2.      Daluwarsa (psl 84, 85)
v  Daluwarsa dimulai keesokan harinya sesudah putusan hukum dapat dijalankan :
-          Untuk semua pelanggaran       : 2 tahun
-          Untuk kejahatan percetakan   : 5 tahun
-          Untuk kejahatan lainnya         : sama dengan daluwarsa penuntutan
-          Tidak ada daluwarsa untuk pidana mati
v  Pencegahan (stuiting) daluwarsa dapat terjadi :
1)  Terpidana melarikan diri selama menjalani pidana (daluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah melarikan diri)
2)  Pada pelepasn bersyarat yg dicabut, maka daluwarsa dihitung baru (tdk melnjutkan yg dl) pd esok hari setelah pencabutan.
Dengan adanya stuiting, maka daluwarsa yang telah dilalui menjadi hilang (tidak diperhitungkan)
v  Penundaan (schorsing) dapat terjadi :
1)     selama prjalanan pid ditunda mnrt perundang-undangan ybl
2)     selama terpidana dirampas kemerdekaannya (dlm tahanan)
Adanya Schorsing hanya menghentikan sementara daluwarsa, sdgkan daluwarsa yg tlh dilalui tetap diperhitungkan.
b.        Yg terdapat di luar KUHP
v  Amnesti
v  Grasi (UU no.  22 Tahun 2002 Tentang Grasi)
Grasi tidak menghilangkan putusan hukum ybs, hanya menghapus/ mengurangi/ meringankan pidana. Grasi dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.

 BAB III
PEMBAHASAN CONTOH KASUS

III.1 Kasus Residivis Pencurian Dengan Tersangka Yoyo (Recidive).
Residivis Kambuhan Yoyo Ditangkap
Rabu, 22/08/2012 - 21:06
MAJALENGKA,(PRLM).- Residivis kambuhan Yoyo Sahwo bin Aswa (30) warga Blok Senin, Ranji Wetan, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Majalengka ditangkap Polisi dari Polsek Dawuan , Kabupaten Majalengka, karena diduga telah melakukan pencurian 10 sepeda motor selama kurun waktu enam bulan terakhir, Selasa (21/8).
Dia ditangkap di rumahnya sekitar pukul 21.00 WIB, setelah diketahui telpon seluler miliknya yang tertinggal di rumah korban Hadis (60) warga Desa Wanajaya, Kecamatan Kasokandel, yang sepeda motornya di curi tersangka.
Menurut keterangan Kapolsek Dawuan Komisaris Polisi H.Mukmin Hidayat, Rabu (22/8), aksi pencurian yang dilakukan Yoyo berawal ketika Selasa dini hari Hadis kehilangan sebuah sepeda motor jenis Honda Supra X, sementara di rumahnya terdapat sebuah telpon seluler yang tidak jelas kepemiliknanya serta sebilah golok yang juga tidak diketahui kepemilikannya.
Korban kemudian melaporkan kasusnya ke Mapolsek Dawuan, malamnya beberapa nomor telpon yang tertera pada telpon tersebut dicoba untuk dihubungi dan kesemuanya menyebutkan kalau telpon seluler tersebut adalah milik Yoyo warga Desa Ranji Wetan.
Setelah diketahui pihak kepolisian kemudian langsung mendatangi ke rumahnya dan menanyakan kebenaran kepemilikan tekpon seluler tersebut hingga aksi pencurian sepeda kotor yang dilakukannya terhadap Hadis.
“Begiu didatangi yang bersangkutan membenarkan kalau telpon seluler dan golok tersebut adalah miliknya, diapun mengakui telah melakukan pencurian sepeda motor milik Hadis,” ungkap Kapolsek H.Mukmin.
Berdasarkan keterangan sementara, tersangka diketahui telah melakukan pencurian 10 sepeda motor di berbagai tempat diantaranya di areal parkir di Kadipaten, Majalengka, Dawuan, serta di beberapa rumah milik warga yang sepeda motornya sedang di parkir di rumah. Modus pencuriannya mengambil sepeda motor di areal parkir dengan menggunakan kunci T.
Yang bersangkutan telah tiga kali masuk penjara dengan kasus yang sama, dan bahkan dia baru keluar dari penjara dua tahun yang lalu. “Dia residivis ditangkap ke empat kali sekarang, kasusnya sama pencurian sepeda motor,“ ungkap H.Mukmin.
Disampaikan Mukmin pihaknya kini masih mengembangkan kasus tersebut dan mencari barang bukti yang kesemuanya sudah di jual. Sementara itu Yoyo menyebutkan kalau sepeda motor hasil curiannya sebagian dijual langsung kepada konsumen senilai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta, sebagian lagi di jual kepada salah seorang penadah yang kini sedang dalam pengejaran petugas. (C-28/A-26).
ANALISA KASUS RESIDIVIS YOYO :
*   Uraian Recidive :
                   Menurut doktrin, Yoyo telah melakukan recidive jenis khusus, yakni pengulangan tindak pidana sejenis. Menurut system ini, tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
       Recidive Khusus yang dilakukan oleh Yoyo termasuk dalam kategori “Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488 KUHP “.

*      Penguraian  Unsur Recidive Khusus Yoyo :
Terdapat persyaratan-persyaratan yang harus terpenuhi dimana suatu tindak pidana dikatakan recidive khusus kelompok sejenis, apabila:
1.      Terutama kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481).
ü  Dalam hal ini, Yoyo telah melakukan tindak pidana kejahatan pencurian sepeda motor, dimana Yoyo melanggar Pasal 363 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 tahun. Dengan demikian Yoyo telah memenuhi persyaratan pertama ini.
2.      Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap.
3.      Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.
ü  Dalam hal ini, Yoyo telah tiga kali masuk penjara dengan kasus yang sama, dan bahkan dia baru keluar dari penjara dua tahun yang lalu. Sehingga Yoyo telah memenuhi persyaratan no.2 dan no.3 dimana pada kasus sebelumnya, Yoyo telah dijatuhi hukuman pidana yang berkekuatan tetap.
4.      Ketika melakukan pengulangan, terdapat tenggang waktu.
ü  Dalam hal ini, Yoyo dalam melakukan kasus recidive-nya terdapat tenggang waktu 2 tahun dari kasus tindak pidana yang sebelumnya.

*      KESIMPULAN :
Karena keempat persyaratan telah dipenuhi, maka Yoyo merupakan Residivis Khusus dengan kasus pencurian, dimana termasuk dalam kategori “Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”, terutama yang diatur dalam Pasal 486”. Karena Yoyo terbukti telah melanggar Pasal 363 ayat (2) KUHP.

III.2 Kasus Pemberian Amnesti Kepada 30 Napi GAM (Penghapusan Kewenangan Menjalankan Pidana)


30 Napi GAM Peroleh Amnesti

Indosiar.com, Banda Aceh - 30 orang narapidana Gerakan Aceh Merdeka yang mendekam disejumlah LP di Pulau Jawa dan Sumatera mendapat amnesti dari pemerintah.
Suasana haru mewarnai pertemuan para napi GAM dan anggota keluarga mereka di Bandara Sultan Iskandar Muda dan di Markas Pusat GAM dan KPA dikawasan Desa Lam Dingin, Banda Aceh.
Para tapol ini dibebaskan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka sesuai dengan nota kesepahaman damai di Helsinki. Setibanya di Bandara Sultan Iskandar Muda mereka dijemput petinggi GAM, Kepala Kantor Kehakiman dan HAM serta pihak Aceh Monitoring Mission.
Beberapa napi mengaku sangat senang bisa kembali ke Aceh sebelum masa tahanan mereka habis. Seluruh napi yang mendapat amnesti ini terlibat dalam beberapa kasus pengeboman di sejumlah tempat diantara didepan kantor Walikota Medan dan teror bom dibeberapa mall dan plaza di Medan. Mereka divonis antara 5 hingga 11 tahun penjara.
Para mantan GAM ini nantinya akan mendapat pembinaan badan reintegrasi Aceh dan nantinya akan mendapatkan modal kerja untuk melakukan usaha. (Despriani Zamzami/Sup)






ANALISA KASUS HAPUSNYA KEWENANGAN MENJALANKAN PIDANA :
*      Berdasarkan uraian kasus diatas, ke-30 napi GAM tersebut telah terbukti malakukan pelanggaran tindak pidana seperti kasus pengeboman dan terror bom dengan vonis hukuman penjara antara 5 hingga 11 tahun.
*      Oleh karena Pemerintah memberikan amnesti kepada 30 napi GAM tersebut, maka para napi tersebut dapat terbebas dari kewenangan menjalankan pidana.
*      Dalam hal ini, amnesti diberikan setelah para napi divonis dengan hukuman akibat dari tindak pidana yang mereka lakukan. Jadi, dengan adanya pemberian amnesti tersebut para napi tidak perlu menjalankan kewajiban masa tahanannya sampai habis.
*      Amnesti berbeda dengan Abolisi, karena amnesti diberikan setelah para pelaku pidana diputus oleh hakim dengan kekuatan hukum yang tetap,sedangkan abolisi diajukan sebelum adanya putusan hakim, sehingga dihapuskannya penuntutan terhadap para pelaku tindak pidana. Dalam kasus ini, para napi diberikan Amnesti, sehingga yang dihapuskan adalah kewenangan para napi dalam menjalankan pidana.

0 comments:

Post a Comment

 

Kiwilicious.com | Copyright © 2012 | Powered by Blogger | Blog Designed By Yogen Basnet