BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Ilmu atau
ilmu pengetahuan memang berkembang begitu cepat. Ilmu hukum adalah merupakan
salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan
teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan
tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana
kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum sebagai gejala sosial mengandung
berbagai aspek, fase, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi
yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara
rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan.
Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang objeknya
adalah hukum.
Terdapat
beberapa pemahaman untuk mendefinisikan atau menjelaskan “ilmu hukum”. Berikut
definisi/penjelesan yang dimaksud sebagaimana dikutip dari beberapa literatur :
1.
Buku pengantar ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki).
Dalam bukunya pengantar ilmu hukum, Peter Mahmud Marzuki
memulai dengan menuliskan ungkapan lama quot
homines, tot sententiae yang artinya “sebanyak jumlah manusia itulah
banyaknya pengertian”. Dalam Bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence, dalam Bahasa Belanda ilmu
hukum disebut rechwetenchap, dan
dalam Bahasa Perancis disebut dengan theorie
generale du droit. Bahasa Jerman secara bergantian menyebut ilmu hukum
sebagai jurisprudence dan rechwetenchap. Beberapa penulis
berbahasa Inggris ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal
science.
2.
Ilmu
Hukum menurut Satjipto Rahardjo.
Ilmu hukum
dapat dijelaskan sebagai ilmu tentang hukum dalam seginya yang paling umum.
Segenap usaha untuk mengembalikan suatu kasus kepada suatu peraturan, adalah
kegiatan ilmu hukum, sekalipun nama yang umumnya dipakai dalam bahasa inggris
dibatasi pada artiannya sebagai aturan-aturan yang paling luas dan konsep yang
paling fundamental.
Ilmu hukum menunjukkan
penafsiran normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang tergabung
dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum.
Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku
manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan
demikian menjelaskan hubungan normatif
antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu.
Ilmu hukum mempunyai
karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan
hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak
akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum.
Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai
makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya
menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar;
melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari
hukum.
B. Rumusan Masalah
Mengapa dalam ilmu hukum dipergunakan istilah jurispridence, bukan the science of law
atau legal science? Dimana titik argumentasinya?.
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk mendapatkan pengertian ilmu
hukum, perlu diingat ungkapan lama quot homines, tot sententiae. Dalam
bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence. Akan tetapi ada
beberapa penulis berbahasa Inggris menyebut ilmu hukum sebagai the science
of law atau legal science.
Salmond, misalnya menyatakan: “If
we use the term science in its widest permissible sense as including the
systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry, we may define
jurisprudence as the science of civil law”. Begitu juga Keaton.
Menurutnya, “the science of jurisprudence may be considered as the strictly
and systematic arrangement of the general principles of law”. Sama halnya
Roscoe Pound menyatakan “jurisprudence is the science of law, using the
term law in the judicial sense, as denoting the body of principles recognized
or enforced by public or regular tribunals in the administration of justice”.
Di dalam Webster Dictionary, kata science
berarti knowledge or a system of knowledge covering general
truths or the operation of general laws especially as obtained and
tested through scientific method. Selanjutnya, kamus itu menyebutkan bahwa such
knowledge or such a system of knowledge concerned with the physical world
and its phenomena: NATURAL SCIENCE. Dengan berpegang kepada kamus itu,
tidak dapat disangkal bahwa kata science memang merujuk kepada tidak
lain dari pada ilmu alamiah. Jenis ilmu ini hanya dapat diperoleh melalui
metode ilmiah atau scientific method. Sedangkan mengenai scientific
method, Webster mendefinisikan sebagai principles and procedures for the
systematic pursuit of knowledge involving the recognition and
formulation of a problem, the collection of data through observation and
experiment, and the formulation and testing of hypotheses.
Francis Bacon adalah orang yang
pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun dilakukan beberapa
perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad XVII.
Para ilmuwan mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati
gejala-gejala secara cermat dan teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam
apa yang mereka temukan, menganalisisnya, dan mempublikasikannya. Dengan berjalannya
waktu, mereka bekerja sama dengan para koleganya dari bidang studi yang sama
dan mengumpulkan temuan-temuan itu sebagai data yang dapat dipercaya. Dalam
suatu situasi semacam itu, para ilmuwan tidak mulai dengan menyusun hipotesis,
melainkan mereka mulai dengan melakukan observasi.
Semakin banyak data terkumpul,
semakin banyak gejala ilmiah terungkap.
Niat
para ilmuwan adalah menjelaskan gejala-gejala alamiah secara ilmiah. Kegiatan
semacam ini dimulai dengan menyusun hipotesis dan bukan dengan melakukan
pengamatan terhadap gejala-gejala yang ada. Hipotesis adalah suatu praduga yang
bersifat tentatif yang dibuat untuk menarik kesimpulan dan menguji sesuatu yang
bersifat empiris.
Auguste Comte dipandang sebagai pendiri positivisme. Ia
membedakan tiga tahap besar evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah
tahap theologis. Pada tahap ini semua gejala diterangkan dengan merujuk kepada
kausa yang bersifat supranatural dan campur tangan sesuatu yang ilahi.
Tahap kedua adalah tahap metafisika.Di dalam tahap ini
pikiran dikembalikan kepada prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang mendasar
yang dipandang berada di bawah permukaan yang membentuk kekuatan nyata dalam
evolusi manusia.
Tahap ketiga, yaitu tahap terakhir adalah tahap positif.
Tahap ini menolak semua konstruksi hipotetetis yang ada dalam filsafat dan
membatasi diri kepada observasi empiris dan hubungan di antara fakta melalui
metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alamiah.
Sejak paruh kedua abad XIX, positivisme yang dikemukakan
oleh Auguste Comte menjadi suatu pola ilmu-ilmu sosial. Sebagai seorang
pengagum ilmu-ilmu alamiah, John Stuart Mill percaya bahwa ada hukum kausalitas
yang mengatur manusia dalam hidup bermasyarakat sama halnya dengan dunia
fisika. Dia menerapkan metode ilmiah kepada studi-studi sosial. Hal ini
merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi diterapkannya metode untuk
ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itulah tepatlah jika katakan
bahwa apa yang dilakukan oleh Mill tersebut disebut “naturalistic” social
science. Jika poitivisme begitu kuat mempengaruhi Mill dalam bidang ilmu
sosial, pada ilmu hukum, pengaruh tersebut telah mempengaruhi John Austin..
John Austin dipandang sebagai pendiri legal positivism.
Dalam karyanya “Essays on Equality, Law, and Education”, John Stuart
Mill menulis tentang Austin: “No writer whom we know had more of the
qualities needed for initiating and disciplining other minds in the difficult
art of precise thought”. Setelah mempelajari Hukum Romawi, Austin
menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum Inggris.
Austin kemudian
membuat perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of
ethics. Ia menyatakan bahwa “the science of jurisprudence is concerned with
positive laws, or with laws strictly so called, as considered without regard to
their goodness and badness.” Yuris, menurut Austin hanya berhubungan dengan
hukum sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filosof ethika
berhubungan dengan hukum yang seharusnya.
Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan dengan
hukum yang ideal atau yang adil. Legal positivism didirikan sebagai
suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat anti
metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti
oleh kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya, memerlukan
pengetahuan yang objektif. Suatu pengetahuan objektif adalah suatu
pernyataan mengenai suatu gejala yang harus diverifikasi dan eksistensinya
harus didasarkan pada fakta yang dapat diobservasi dan dikontrol. Austin
mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati.
Dalam pandangan Austin, hukum terdiri dari
perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan
dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan
dengan merujuk kepada aturan-aturan tingkah laku lahiriah. Bagi Austin, evaluasi
terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang lain. Dengan demikian, Austin
menulis tentang hukum dari perspektif sosiolog yang bebas nilai. Dengan
menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, kaum positivis
berpendapat bahwa suatu pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris itulah
yang dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Mereka menolak semua gejala yang berada
dalam kategori nilai-nilai.
Kaum positivis hanya berpegang kepada induksi yaitu dengan
mengamati fakta empiris untuk memverifikasi hipotesis yang diajukan, melakukan
inferensi, dan akhirnya menghasilkan teori eksplanatoris. Prosedur untuk mendapatkan
pengetahuan empiris oleh kaum positivis dianggap telah menghasilkan hukum-hukum
ilmiah yang bersifat umum dan seragam.
Menurut Bernard Barber, prosedur semacam itu dapat
diterapkan untuk ilmu-ilmu sosial. Ia menyatakan “Science is a unity,
whatever the class of empirical materials to which it is applied, and therefore,
natural and social science belong together in principle”. Lebih
lanjut ia mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu alamiah dan ilmu-ilmu
sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat fundamental.
Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin yang dapat
dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu politik, psikologi,
sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter yang esensial dalam
semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan hubungan sosial di antara
manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang lain bukan hanya secara fisik
melainkan juga atas dasar makna-makna yang disepakati bersama. Namun demikian
ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode yang digunakan
untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial.
Pertama, gejala yang dihadapi oleh ilmuwan sosial tidak
sama dengan gejala yang dihadapi oleh ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu
alamiah. Objek telaahnya berbeda, yaitu ilmu-ilmu alamiah berkaitan dengan
materi sedangkan ilmu-ilmu sosial mengenai manusia. Materi bereaksi terhadap
rangsangan. Materi tidak memahami perilakunya sendiri dan tidak mempunyai
keinginan subjektif. Materi tidak mempunyai makna sampai ilmuwan menjadikannya
sesuatu untuk diperhatikan. Untuk memahami logika perilaku materi, seseorang
harus mengamatinya. Sebaliknya, perilaku masyarakat mempunyai makna bagi
masyarakat itu. Masyarakat menetapkan situasi mereka dan bertindak dengan
cara-cara tertentu dalam mencapai tujuannya. Dalam melakukan hal itu mereka
membangun suatu dunia sosial. Kehidupan sosial mempunyai kehidupan internal
yang harus dipahami oleh ilmuwan sosial. Sebaliknya, ilmuwan dalam ruang
lingkup ilmu-ilmu alamiah dapat menetapkan logika eksternal terhadap data yang
ia peroleh. Pemahaman mengenai maksud subjektif manusia memerlukan pemahaman
interpretatif dari teoretisi yang mengalami makna subjektif tersebut.
Kedua, ilmuwan sosial tidak dapat mengalami pengalaman
orang lain. Pengalaman pribadinya membuatnya memberi warna terhadap apa yang
terjadi. Suatu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah persepsi Clifford
Geerzt tentang dikhotomi masyarakat Jawa menjadi kaum santri dan abangan.
Perspektif semacam ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya di tempat ia
dibesarkan. Sama halnya bukan orang Jawa yang suka melihat wayang tanpa
mengerti makna wayang lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa suka perang.
Didirikannya Law and Society Association dan
jurnalnya Law & Society Review tahun 1960-an telah menyulut
studi-studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Sejak itu literatur-literatur
mengenai hukum dan masyarakat berkembang dengan pesat. Objek-objek penelitian
acap kali diarahkan pada topik-topik dampak hukum terhadap masyarakat tertentu,
kepatuhan hukum masayarakat tertentu terhadap suatu aturan hukum tertentu,
efektivitas aturan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, dan hukum dan perubahan
sosial. Hal ini telah mengubah pendekatan dari pendekatan tradisional yang
berbicara mengenai doktrin-doktrin hukum ke arah pendekatan perilaku dengan
cara menyoroti putusan-putusan pengadilan terbaru dalam rangka menjawab
masalah-masalah dampak hukum terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Masalah pokok dalam penelitian semacam itu adalah
menyelidiki lubang antara yang digagas oleh hukum dan apa yang terjadi di alam
empiris. Hal ini berarti menjadikan studi hukum menjadi studi sosial. Menurut
para pengikut pandangan itu, tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan
masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah
hukum itu sendiri secara lebih mendalam. Dalam melaksanakan hal itu, tentu saja
perlu dilakukan verifikasi empiris.
Konsekuensinya, penelitian perlu diadakan untuk
menyelesaikan masalah itu. Kecenderungan semacam itu amat dipengaruhi oleh
ilmuwan sosial yang melakukan studi hukum dari perspektif mereka senditi.
Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya prosedur standar untuk melakukan
studi hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Dalam pengembangan ilmu
hukum, sudah barang tentu juga harus mengikuti metode yang digunakan oleh ilmu
sosial, yaitu melalui penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosial.
Oleh karena itu secara keliru setiap penelitian hukum dimulai dengan hipotesis
sebagaimana layaknya penelitian sosial.
Dalam hal demikian, penelitian hukum dimaksudkan tidak
lebih untuk memperoleh kebenaran empiris atau lebih tepat dikatakan sebagai
keniscayaan. Inti dari penelitian semacam ini adalah untuk menguji sejauh mana
teori hukum dapat diterapkan dalam suatu masyarakat dan apakah aturan-aturan
hukum tertentu dipatuhi oleh anggotaanggota masyarakat. Apabila pengembangan
ilmu hukum dilakukan dengan melakukan penelitian semacam ini, tidak dapat
dielakkan bahwa ilmu hukum telah dibawa untuk menjadi studi perilaku yang hal
ini bertentangan dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri.
Di samping itu meskipun para sarjana yang melakukan
studi-studi semacam itu tidak secara terbuka menyatakan dalam menetapkan konsep
hukum yang ia gunakan untuk bekerja, tidak dapat dibantah bahwa mereka
berpegang kepada konsep Austinian. John Austin memandang hukum semata-mata
sebagai perintah penguasa. Oleh karena itulah hukum dipandang sebagai perintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang
didukung oleh paksaan fisik yang akan dijatuhkan kepada siapa yang tidak
menaati ketentuan itu. Pandangan itu tidak dapat menerangkan ketentuan yang
tidak bersifat perintah atau larangan, seperti misalnya ketentuan mengenai usia
cukup umur. Sebenarnya, sanksi bukan merupakan unsur yang esensial dalam hukum.
Sanksi merupakan unsur tambahan. Ada beberapa hukum yang tidak dilekati dengan
sanksi. Ketentuan mengenai usia cukup umur yang elah dikemukakan adalah suatu
contoh ketentuan yang tidak dilekati sanksi.
Unsur yang esensial dalam hukum adalah penerimaan
masyarakat terhadap aturan hukum itu sehingga aturan itu mempunyai kekuatan
mengikat. Konsep hukum sebagai suatu perintah yang didukung oleh paksaan fisik
merupakan konsep yang sangat diwarnai oleh hukum pidana. Konsep semacam itu
dengan sendirinya mengabaikan bidang-bidang hukum lainnya. Oleh karena itulah
dapat dikatakan bahwa pendekatan sosial terhadap hukum yang berpangkal pada
pandangan Austinian sejak semula sudah keliru.
Pernyataan dalah suatu ilmu deskriptif adalah mengenai apa
yang terjadi. Pernyataan itu juga merupakan pernyataan tentang fakta. Baik
ilmu-ilmu alamiah maupun ilmuilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang
dapat diamati secara empiris. Apa yang ingin dicapai oleh ilmu-ilmu deskriptif
adalah keniscayaan (truth). Konsekuensinya, sistem nilai, yaitu sesuatu
yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should atau ought) dan
gagasan yang bersifat preskriptif tidak masuk bilangan ilmu sosial maupun ilmu
alamiah.
Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa istilah the science of law atau legal science tidak
tepat. Secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua
pengertian, yaitu :
1.
Kata “law” diartikan sebagai serangkaian
pedoman untuk mencapai keadilan. Dalam bahasa Latin disebut ius, bahasa
Perancis droit, bahasa Belanda recht, dan dalam bahasa Jerman Recht.
2.
Kata “law” merujuk kepada seperangkat
aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat. Dalam bahasa Latin
disebut lex, dalam bahasa Perancis loi, dalam bahasa Belanda wet,
dan dalam bahasa Jerman Gesetz.
Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan
menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah
“law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis
berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan
garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang
dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam
garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal
science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan
terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah
titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal
science.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu
hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence dan bukan the
science of law atau legal
science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum.
Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris,
yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat
oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia,
yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan
demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan
hukum. Sudah barang tentu hal ini tidak bersangkut paut dengan gejala yang
dapat diamati secara empiris.
Mengingat science diidentifikasi sebagai studi
empiris, Jan Gijssels and Mark van Hoecke menghindari menerjemahkan kata bahasa
Belanda Rechtswetenschap menjadi legal science. Ia secara tepat
menganjurkan Rechtswetenschap menjadi jurisprudence. Dalam hal
ini jurisprudence didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang
sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas
sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga
berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum
suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya
bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang
hukum. Validitas aturan hukum, keadilan, prosedur standar penerapan hukum dan masalah-masalah
internal hukum merupakan bagian yang esensial dari jurisprudence.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa titik anjak dalam
mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum. Hal
inilah yang membedakan antara ilmu hukum dengan disiplin-disiplin lain yang
objek kajiannya juga hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum
dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum memandang hukum sebagai gejala
sosial. Dengan melihat kondisi intrinsik aturan hukum, ilmu hukum mempelajari
gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoretis
serta landasan pemikiran yang mendasarinya. Landasan pemikiran itu berkaitan
dengan berbagai macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek yaitu hukum
sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum
adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu
hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain
tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan
hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif
menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah
dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari
perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum
terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak
sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan
perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi,
hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar
kajian. Tugas ilmu hukum dalam hal ini jurisprudence adalah menemukan
prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam bahasa
Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai Jurisprudence dan bukannya
the science of law atau
legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah
hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan
bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan
kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan
atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan
yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum.
Hal tersebut
dikarenakan, secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris
mempunyai dua pengertian, yaitu serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan dan
merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban
masyarakat.
Perbedaan
rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam
pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara
umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”,
suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan
untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu
ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini
diikuti, istilah legal science
akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi
ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik
argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal
science.
Jurisprudence
dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis
tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum.
Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di
samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan
lebih dari itu merupakan studi tentang hukum.
0 comments:
Post a Comment