Monday 9 February 2015

TITIK ARGUMENTASI JURISPRUDENCE SEBAGAI ILMU HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengantar
Ilmu atau ilmu pengetahuan memang berkembang begitu cepat. Ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, fase, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang objeknya adalah hukum.
Terdapat beberapa pemahaman untuk mendefinisikan atau menjelaskan “ilmu hukum”. Berikut definisi/penjelesan yang dimaksud sebagaimana dikutip dari beberapa literatur :
1.    Buku pengantar ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki).
           Dalam bukunya pengantar ilmu hukum, Peter Mahmud Marzuki memulai dengan menuliskan ungkapan lama quot homines, tot sententiae yang artinya “sebanyak jumlah manusia itulah banyaknya pengertian”. Dalam Bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence, dalam Bahasa Belanda ilmu hukum disebut rechwetenchap, dan dalam Bahasa Perancis disebut dengan theorie generale du droit. Bahasa Jerman secara bergantian menyebut ilmu hukum sebagai jurisprudence dan rechwetenchap. Beberapa penulis berbahasa Inggris ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.
2.    Ilmu Hukum menurut Satjipto Rahardjo.
           Ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai ilmu tentang hukum dalam seginya yang paling umum. Segenap usaha untuk mengembalikan suatu kasus kepada suatu peraturan, adalah kegiatan ilmu hukum, sekalipun nama yang umumnya dipakai dalam bahasa inggris dibatasi pada artiannya sebagai aturan-aturan yang paling luas dan konsep yang paling fundamental.
Ilmu hukum menunjukkan penafsiran normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang tergabung dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan demikian  menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu.
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum.

B.  Rumusan Masalah
Mengapa dalam ilmu hukum dipergunakan istilah jurispridence, bukan the science of law atau legal science? Dimana titik argumentasinya?.

BAB II
PEMBAHASAN

Untuk mendapatkan pengertian ilmu hukum, perlu diingat ungkapan lama quot homines, tot sententiae. Dalam bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence. Akan tetapi ada beberapa penulis berbahasa Inggris menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.
Salmond, misalnya menyatakan: “If we use the term science in its widest permissible sense as including the systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry, we may define jurisprudence as the science of civil law”. Begitu juga Keaton. Menurutnya, “the science of jurisprudence may be considered as the strictly and systematic arrangement of the general principles of law”. Sama halnya Roscoe Pound menyatakan “jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial sense, as denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the administration of justice”.
Di dalam Webster Dictionary, kata science berarti knowledge or a system of knowledge covering general truths or the operation of general laws especially as obtained and tested through scientific method. Selanjutnya, kamus itu menyebutkan bahwa such knowledge or such a system of knowledge concerned with the physical world and its phenomena: NATURAL SCIENCE. Dengan berpegang kepada kamus itu, tidak dapat disangkal bahwa kata science memang merujuk kepada tidak lain dari pada ilmu alamiah. Jenis ilmu ini hanya dapat diperoleh melalui metode ilmiah atau scientific method. Sedangkan mengenai scientific method, Webster mendefinisikan sebagai principles and procedures for the systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulation of a problem, the collection of data through observation and experiment, and the formulation and testing of hypotheses.
Francis Bacon adalah orang yang pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun dilakukan beberapa perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad XVII. Para ilmuwan mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati gejala-gejala secara cermat dan teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam apa yang mereka temukan, menganalisisnya, dan mempublikasikannya. Dengan berjalannya waktu, mereka bekerja sama dengan para koleganya dari bidang studi yang sama dan mengumpulkan temuan-temuan itu sebagai data yang dapat dipercaya. Dalam suatu situasi semacam itu, para ilmuwan tidak mulai dengan menyusun hipotesis, melainkan mereka mulai dengan melakukan observasi.
Semakin banyak data terkumpul, semakin banyak gejala ilmiah terungkap.
Niat para ilmuwan adalah menjelaskan gejala-gejala alamiah secara ilmiah. Kegiatan semacam ini dimulai dengan menyusun hipotesis dan bukan dengan melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala yang ada. Hipotesis adalah suatu praduga yang bersifat tentatif yang dibuat untuk menarik kesimpulan dan menguji sesuatu yang bersifat empiris.
Auguste Comte dipandang sebagai pendiri positivisme. Ia membedakan tiga tahap besar evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap theologis. Pada tahap ini semua gejala diterangkan dengan merujuk kepada kausa yang bersifat supranatural dan campur tangan sesuatu yang ilahi.
Tahap kedua adalah tahap metafisika.Di dalam tahap ini pikiran dikembalikan kepada prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang mendasar yang dipandang berada di bawah permukaan yang membentuk kekuatan nyata dalam evolusi manusia.
Tahap ketiga, yaitu tahap terakhir adalah tahap positif. Tahap ini menolak semua konstruksi hipotetetis yang ada dalam filsafat dan membatasi diri kepada observasi empiris dan hubungan di antara fakta melalui metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alamiah.
Sejak paruh kedua abad XIX, positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte menjadi suatu pola ilmu-ilmu sosial. Sebagai seorang pengagum ilmu-ilmu alamiah, John Stuart Mill percaya bahwa ada hukum kausalitas yang mengatur manusia dalam hidup bermasyarakat sama halnya dengan dunia fisika. Dia menerapkan metode ilmiah kepada studi-studi sosial. Hal ini merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi diterapkannya metode untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itulah tepatlah jika katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mill tersebut disebut “naturalisticsocial science. Jika poitivisme begitu kuat mempengaruhi Mill dalam bidang ilmu sosial, pada ilmu hukum, pengaruh tersebut telah mempengaruhi John Austin..
John Austin dipandang sebagai pendiri legal positivism. Dalam karyanya “Essays on Equality, Law, and Education”, John Stuart Mill menulis tentang Austin: “No writer whom we know had more of the qualities needed for initiating and disciplining other minds in the difficult art of precise thought”. Setelah mempelajari Hukum Romawi, Austin menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum Inggris.
 Austin kemudian membuat perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of ethics. Ia menyatakan bahwa “the science of jurisprudence is concerned with positive laws, or with laws strictly so called, as considered without regard to their goodness and badness.” Yuris, menurut Austin hanya berhubungan dengan hukum sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filosof ethika berhubungan dengan hukum yang seharusnya.
Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan dengan hukum yang ideal atau yang adil. Legal positivism didirikan sebagai suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat anti metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya, memerlukan pengetahuan yang objektif. Suatu pengetahuan objektif adalah suatu pernyataan mengenai suatu gejala yang harus diverifikasi dan eksistensinya harus didasarkan pada fakta yang dapat diobservasi dan dikontrol. Austin mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati.
Dalam pandangan Austin, hukum terdiri dari perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan dengan merujuk kepada aturan-aturan tingkah laku lahiriah. Bagi Austin, evaluasi terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang lain. Dengan demikian, Austin menulis tentang hukum dari perspektif sosiolog yang bebas nilai. Dengan menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, kaum positivis berpendapat bahwa suatu pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris itulah yang dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Mereka menolak semua gejala yang berada dalam kategori nilai-nilai.
Kaum positivis hanya berpegang kepada induksi yaitu dengan mengamati fakta empiris untuk memverifikasi hipotesis yang diajukan, melakukan inferensi, dan akhirnya menghasilkan teori eksplanatoris. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan empiris oleh kaum positivis dianggap telah menghasilkan hukum-hukum ilmiah yang bersifat umum dan seragam.
Menurut Bernard Barber, prosedur semacam itu dapat diterapkan untuk ilmu-ilmu sosial. Ia menyatakan “Science is a unity, whatever the class of empirical materials to which it is applied, and therefore, natural and social science belong together in principle”. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat fundamental.
Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu politik, psikologi, sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter yang esensial dalam semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan hubungan sosial di antara manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar makna-makna yang disepakati bersama. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial.
Pertama, gejala yang dihadapi oleh ilmuwan sosial tidak sama dengan gejala yang dihadapi oleh ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah. Objek telaahnya berbeda, yaitu ilmu-ilmu alamiah berkaitan dengan materi sedangkan ilmu-ilmu sosial mengenai manusia. Materi bereaksi terhadap rangsangan. Materi tidak memahami perilakunya sendiri dan tidak mempunyai keinginan subjektif. Materi tidak mempunyai makna sampai ilmuwan menjadikannya sesuatu untuk diperhatikan. Untuk memahami logika perilaku materi, seseorang harus mengamatinya. Sebaliknya, perilaku masyarakat mempunyai makna bagi masyarakat itu. Masyarakat menetapkan situasi mereka dan bertindak dengan cara-cara tertentu dalam mencapai tujuannya. Dalam melakukan hal itu mereka membangun suatu dunia sosial. Kehidupan sosial mempunyai kehidupan internal yang harus dipahami oleh ilmuwan sosial. Sebaliknya, ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah dapat menetapkan logika eksternal terhadap data yang ia peroleh. Pemahaman mengenai maksud subjektif manusia memerlukan pemahaman interpretatif dari teoretisi yang mengalami makna subjektif tersebut.
Kedua, ilmuwan sosial tidak dapat mengalami pengalaman orang lain. Pengalaman pribadinya membuatnya memberi warna terhadap apa yang terjadi. Suatu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah persepsi Clifford Geerzt tentang dikhotomi masyarakat Jawa menjadi kaum santri dan abangan. Perspektif semacam ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya di tempat ia dibesarkan. Sama halnya bukan orang Jawa yang suka melihat wayang tanpa mengerti makna wayang lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa suka perang.
Didirikannya Law and Society Association dan jurnalnya Law & Society Review tahun 1960-an telah menyulut studi-studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Sejak itu literatur-literatur mengenai hukum dan masyarakat berkembang dengan pesat. Objek-objek penelitian acap kali diarahkan pada topik-topik dampak hukum terhadap masyarakat tertentu, kepatuhan hukum masayarakat tertentu terhadap suatu aturan hukum tertentu, efektivitas aturan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, dan hukum dan perubahan sosial. Hal ini telah mengubah pendekatan dari pendekatan tradisional yang berbicara mengenai doktrin-doktrin hukum ke arah pendekatan perilaku dengan cara menyoroti putusan-putusan pengadilan terbaru dalam rangka menjawab masalah-masalah dampak hukum terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Masalah pokok dalam penelitian semacam itu adalah menyelidiki lubang antara yang digagas oleh hukum dan apa yang terjadi di alam empiris. Hal ini berarti menjadikan studi hukum menjadi studi sosial. Menurut para pengikut pandangan itu, tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah hukum itu sendiri secara lebih mendalam. Dalam melaksanakan hal itu, tentu saja perlu dilakukan verifikasi empiris.
Konsekuensinya, penelitian perlu diadakan untuk menyelesaikan masalah itu. Kecenderungan semacam itu amat dipengaruhi oleh ilmuwan sosial yang melakukan studi hukum dari perspektif mereka senditi. Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya prosedur standar untuk melakukan studi hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Dalam pengembangan ilmu hukum, sudah barang tentu juga harus mengikuti metode yang digunakan oleh ilmu sosial, yaitu melalui penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosial. Oleh karena itu secara keliru setiap penelitian hukum dimulai dengan hipotesis sebagaimana layaknya penelitian sosial.
Dalam hal demikian, penelitian hukum dimaksudkan tidak lebih untuk memperoleh kebenaran empiris atau lebih tepat dikatakan sebagai keniscayaan. Inti dari penelitian semacam ini adalah untuk menguji sejauh mana teori hukum dapat diterapkan dalam suatu masyarakat dan apakah aturan-aturan hukum tertentu dipatuhi oleh anggotaanggota masyarakat. Apabila pengembangan ilmu hukum dilakukan dengan melakukan penelitian semacam ini, tidak dapat dielakkan bahwa ilmu hukum telah dibawa untuk menjadi studi perilaku yang hal ini bertentangan dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri.
Di samping itu meskipun para sarjana yang melakukan studi-studi semacam itu tidak secara terbuka menyatakan dalam menetapkan konsep hukum yang ia gunakan untuk bekerja, tidak dapat dibantah bahwa mereka berpegang kepada konsep Austinian. John Austin memandang hukum semata-mata sebagai perintah penguasa. Oleh karena itulah hukum dipandang sebagai perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang didukung oleh paksaan fisik yang akan dijatuhkan kepada siapa yang tidak menaati ketentuan itu. Pandangan itu tidak dapat menerangkan ketentuan yang tidak bersifat perintah atau larangan, seperti misalnya ketentuan mengenai usia cukup umur. Sebenarnya, sanksi bukan merupakan unsur yang esensial dalam hukum. Sanksi merupakan unsur tambahan. Ada beberapa hukum yang tidak dilekati dengan sanksi. Ketentuan mengenai usia cukup umur yang elah dikemukakan adalah suatu contoh ketentuan yang tidak dilekati sanksi.
Unsur yang esensial dalam hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap aturan hukum itu sehingga aturan itu mempunyai kekuatan mengikat. Konsep hukum sebagai suatu perintah yang didukung oleh paksaan fisik merupakan konsep yang sangat diwarnai oleh hukum pidana. Konsep semacam itu dengan sendirinya mengabaikan bidang-bidang hukum lainnya. Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa pendekatan sosial terhadap hukum yang berpangkal pada pandangan Austinian sejak semula sudah keliru.
Pernyataan dalah suatu ilmu deskriptif adalah mengenai apa yang terjadi. Pernyataan itu juga merupakan pernyataan tentang fakta. Baik ilmu-ilmu alamiah maupun ilmuilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati secara empiris. Apa yang ingin dicapai oleh ilmu-ilmu deskriptif adalah keniscayaan (truth). Konsekuensinya, sistem nilai, yaitu sesuatu yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should atau ought) dan gagasan yang bersifat preskriptif tidak masuk bilangan ilmu sosial maupun ilmu alamiah.
Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa istilah the science of law atau legal science tidak tepat. Secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu :
1.        Kata “law” diartikan sebagai serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan. Dalam bahasa Latin disebut ius, bahasa Perancis droit, bahasa Belanda recht, dan dalam bahasa Jerman Recht.
2.        Kata “law” merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat. Dalam bahasa Latin disebut lex, dalam bahasa Perancis loi, dalam bahasa Belanda wet, dan dalam bahasa Jerman Gesetz.
Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal science.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence dan bukan the science of law atau legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum.
Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum. Sudah barang tentu hal ini tidak bersangkut paut dengan gejala yang dapat diamati secara empiris.
Mengingat science diidentifikasi sebagai studi empiris, Jan Gijssels and Mark van Hoecke menghindari menerjemahkan kata bahasa Belanda Rechtswetenschap menjadi legal science. Ia secara tepat menganjurkan Rechtswetenschap menjadi jurisprudence. Dalam hal ini jurisprudence didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum. Validitas aturan hukum, keadilan, prosedur standar penerapan hukum dan masalah-masalah internal hukum merupakan bagian yang esensial dari jurisprudence.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa titik anjak dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum. Hal inilah yang membedakan antara ilmu hukum dengan disiplin-disiplin lain yang objek kajiannya juga hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum memandang hukum sebagai gejala sosial. Dengan melihat kondisi intrinsik aturan hukum, ilmu hukum mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoretis serta landasan pemikiran yang mendasarinya. Landasan pemikiran itu berkaitan dengan berbagai macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian. Tugas ilmu hukum dalam hal ini jurisprudence adalah menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.

BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai Jurisprudence dan bukannya the science of law atau legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum.
Hal tersebut dikarenakan, secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan dan merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat.
Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah  legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal science.
Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum.


0 comments:

Post a Comment

 

Kiwilicious.com | Copyright © 2012 | Powered by Blogger | Blog Designed By Yogen Basnet