REVIEW
BUKU KARANGAN SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO “PERGESERAN PARADIGMA DALAM
KAJIAN-KAJIAN SOSIAL DAN HUKUM”
BAB 09 :
“LEGISME : PAHAM POSITIVISME DALAM KAJIAN HUKUM DAN KRITIK-KRITIK
TERHADAPNYA”
Untuk
melengkapi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum
yang
diampu oleh Pradjarta Dirdjosanjoto, S.H., Ph.D.
Oleh :
Nama : Wiwit Widya Wirawati, S.H.
NIM : A.
312.0214.051
Kelas :
B
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2015
Dalam pendahuluan awal pada Bab 09 tersebut dituliskan bahwa
“perkembangan pemikiran filsafati dalam ilmu hukum yang dikonstruksi oleh kaum
liberal dengan mengakui paradigma legisme yang positivistis itu menjadi kurang
realistis lagi dan terkesan gagal menjawab berbagai permasalahana yang timbul
di tengah perubahan”. Dikatakan menjadi kurang realistis dan terkesan gagal
dikarenakan positivisme yang semula bercorak deskripsi-empirik kemudian di
ranah hukum berubah menjadi preskriptif.
Selain itu buah pemikiran John Austin maupun Hans Kelsen yang menekankan
pentingnya kedudukan negara sebagai pembentuk hukum, dimana buah pemikiran
tersebut dinilai banyak pengaruhnya pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik
pada masa tersebut maupun sesudahnya. Berikut adalah buah pemikiran John Austin
dalam uraiannya tentang
ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini, dia mengatakan, “Hukum merupakan perintah dari manusia
(command of human being)”.
- Tidak
ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu pihak dengan moral di lain
pihak, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
- Analisis
terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan
dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula dari
penilaian yang bersifat kritis.
- Pengertian
bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup,
dan di dalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum .yang telah
ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan social, politik, dan
ukuran-ukuran moral.
Akan tetapi terdapat kelemahan fatal dari
pemikiran John Austin dan Hans Kelsen tersebut yaitu bahwa hendaknya
diperhatikan bahwa selain buah pikiran yang selaras dengan situasi yang
mendukungnya, terdapat pula buah-buah pikiran lain yang justru merupakan
penentangan terhadap situasi itu, dan berusaha untuk mengubahnya. Hal tersebut
pula yang menyebabkan pada abad 19 hukum secara nyata mulai kehilangan
kemampuan fungsional sebagai alat
kontrol sosial dimana pada masa tersebut berguna untuk merealisasikan apa yang
telah dicita-citakan. Menurut penulis hal tersebut wajar saja terjadi karena
kelemahan dari buah pemikiran John Austin dan Hans Kelsen tersebut, dimana buah
pemikiran mereka yang terlalu ideal dan hanya benar atau sesuai dengan semboyan
atau retorika belaka yang mereka yakini, dimana tidak semua hal dapat menjadi
kenyataan.
Secara spesifik, penyebab kurang
realistisnya paradigma legisme positif dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Apa
yang dimaksud dengan kaidah moral, secara yuridis tidak penting bagi hukum
walau diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat.
- Pandangannya bertentangan, baik dengan ajaran
hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
- Hakikat hukum semata-mata adalah perintah –
semua hukum positif merupakan perintah dari penguasa/yang berdaulat.
- Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan,
sebab berada dalam ruang lingkup dunia politik/sosiologi – hendaknya dianggap
sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan.
- Ajaran
Austin dan aliran hukum positif pada umumnya kurang/tidak memberikan tempat
bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam sejarahnya, positivisme
dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan
menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa
fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi
ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme
biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi
kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan
positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan
positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama
berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang
mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas
objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi
secara sosial.
Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam
memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan
menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak
dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang
diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif
yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik
tertentu.
Kegagalan seperti itulah yang mulai mengundang kritik terhadap
kemapanan doktrin dalam ilmu hukum yang sudah tak realistis lagi, namun
nyatanya masih bertahan secara konservatif dalam paradifmanya yang positivistis
dan legistis tersebut. Salah satu kajian yang mengilhami munculnya
kritik-kritik terhadap positivistis dan legistis adalah munculnya kesadaran
bahwa tertib hukum yang normatif dan
tertib sosial yang aktual tidak lagi
sama dan sebangun. Munculnya kesadaran tersebut dilatarbelakni oleh adanya
akibat perubahan kehidupan yang dapat disimak yang mana menimbulkan selisih
yang lebar antara apa yang dituntut secara normatif demi tegaknya hukum formal
dan apa yang senyatanya terjadi dalam fakta yang aktual dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan untuk meniadakan the legal gap yang mana menjadi sebuah polemik yang tiada henti
dalam arena politik hukum. Dimana kaum positivis menginginkan perlunya hukum
untuk dihormati dan ditegakkan sekalipun langit akan runtuh. Hal tersebut
berbeda pemikiran dengan pengkaji dan praktisi hukum yang pragmatis dan
progresif dimana menginginkan kebijakan legal
reform untuk meniadakan atau mengurangi adanya legal gaps. Pembaruan hukum lebih dipercaya akan menjadikan
substansi hukum akan selalu dapat dimutakhirkan mengikuti perubahan dan
perkembangan kehidupan yang ada.
Menurut pendapat penulis,
penulis cendenrung lebih menyetujui dengan pendapat para praktisi dan pengkaji
hukum mengenai adanya legal reform
dalam ranah politik hukum. Hal tersebut didasarkan dengan pemikiran suatu hukum
yang baik, adalah hukum yang bersifat fleksibel dalam artian hukum tersebut
tidaklah kaku dan lebih terkesan berkarakter responsif. Hukum yang fleksibel,
dia akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan selalu up to date, dimana
tidak selalu mendayagunakan secara penuh kekuatan sanksi, karena hal tersebut
justru akan menjadikan hukum terkesan kaku dan represif.
Dalam perkembangan pemikiran ilmu hukum yang pragmatis di
Amerika Serikat, tercatat 3 arus pemikiran utama, yaitu :
a.
The Sociological
Jurisprudence
Dari beberapa aliran yang dikenal dalam filsafat hukum
aliran sociological jurisprudence bisa dikatakan sebagai aliran yang memiliki
berbagai pendekatan, dan dipandang dapat menedekatkan cita-cita akan hukum yang
responsif dengan perkembangan masyarakat. Sociological Jurisprudence muncul sebagai
reaksi keras Roscoe Pound terhadap
ajaran dari C. Langdell.
Dalam pendapatnya, Langdell berpendapat bahwa ilmu hukum
adalah ilmu yang termasuk dalam golongan ilmu eksakta, yang tak ada bedanya
dengan ilmu fisika yang bekerja atas dasar temuan sebab akibat. Menurut
Langdell pula, bahwa para yuris haruslah tahu dan mampu mendayagunakan
perpustakaan hukum layaknya para ilmuwan fisika mempergunakan laboraturiumnya.
Idealnya para yuris haruslah dapat dengan mudah menemukan hubungan antara suatu
perbuatan hukum yang berfungsi sebagai penyebab dan apa yang akan menjadi
akibat hukumnya.
Kajian hukum Langdell tersebut menurut Soetandyo Wigjosoebroto,
dinilai sebagai positivistik atau lebih tegas lagi disebut legal science atau
mechanistic jurisprudence. Patrick J. Kelley mengelaborasi pemikiran Landell
sebagai berikut :
1. Hukum harus dipelajari secara
scientific, dengan mempelajari sumber asli (original sources) yakni kasus-kasus
yang telah diputuskan.
2. Hukum sebagai sebuah ilmu
terdiri doktrin fundamental yang pasti, yang relatif sedikit jumlahnya.
3. Doktrin-doktrin fundamental
itu tumbuh ke bentuk saat ini secara
perlahan-lahan, dan pertumbuhan itu dapat dilacak melalui serangkaian
kasus-kasus.
4. Klasifikasi yang tepat dari
doktrin-doktrin hukum fundamental itu akan memfasilitasi studi hukum.
Mereaksi keras terhadap pemikiran Langdell tersebut, Pound
menyatakan bahwa sesungguhnya ada hubungan fungsional antara hukum dan
masyarakat, karena pada hakikatnya hukum itu adalah sarana sosial kontrol.
Hukum adalah bentuk sarana sosial kontrol yang khusus . yang harus diefektifkan
berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam
proses-proses yudisial dan/atau administratif. Dari argumen tersebut, muncullah
pendapat Pound yang terkenal bahwa law is
a tool of social engineering.
Pendapat Pound tersebut pada intinya adalah bahwa
aturan-aturan hukum haruslah dipandang “hanya” sebagai pedoman atau pengarah
saja bagi seorang hakim dalam membuat amar putusan terhadap perkara yang tengah
ditanganinya. Karena itu bagi Pound, hukum harus berkembang sesuai dengan
kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan
masyarakat bersangkutan. Ini kemudian dapat berarti hukum di pandang sebagai
alat yang secara alami mengontrol kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan
pesyaratan-persyaratan tertip sosial.
Inti dari ajaran aliran Sociological
Jurisprudence ini sebagaimana yang berkembang di Amerika adalah bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sesuai disini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai nilai yang hidup dalam
masyarakat. Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law, hukum yang hidup dalam masyarakat. dan kelahirannya
menurut beberapa anggapan adalah merupakan suatu sinthese dari thesenya yaitu
positivisme hukum dan antithesenya dari mazhab sejarah.
-
Kritik
terhadap Aliran Sociological Jurisprudence.
Sekalipun aliran socilogical
jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita hukum masyarakat yang
terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu hukum itu
menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tetapi,
bukan berarti tanpa kritik.
Suatu hal yang patut
dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisrudence Pound, ia lebih mengtamakan
tujuan praktis dengan :
(1) Menelaah akibat sosial yang aktuil dari
lembaga hukum dan doktirin hukum, katena itu , ia lebih memandang kerjanya
hukum dari pada isi abstraknya.
(2) Memajukan telaah sosiologis berkenaan
dengan telaah hukum untuk mempersipakan perundang-undangan, karena itu, ia
menganggab hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha
yang cerdik guna menemukan cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha
usaha demikian itu.
(3) Mempelajari cara membuat peraturan yang
efektif dan menitik beratkan pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum
dan bukannya pada sanksi.
(4) Menelaah sejarah hukum sosiologis yakni
tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara
mengahasilkannya.
(5) Membela apa yang
dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran hukum harus
dianggap sebagai bentuk yang tidak dapat berubah.
(6) Meningkatkan efektifitas
pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai maksud serta
tujuan hukum lebih efektif.
Program sosiologis
jurisprudence Pound itu kelihatan berpengaruh dalam pandangannya yakni apa yang
disebut dengan hukum sebagai social engineering serta ajaran sociological
jurisprudence yang dikembangkannya. Dimana hukum yang baik itu adalah hukum
yang sesuai dengan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini
mengetengahkan pentingnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimana hukum
positif akan baik apabila ada hubungan dengan peraturan yang terletak di dasar
dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan antropologis.
Tidak mudah untuk mewujudkan cita-cita hukum yang demikian.
Ia tidak saja dimungkinkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai dan
tertip yang ada dalam masyarakat sebagai suatu kelompok dengan kelompok
masyarakat lainnya. Terutama dalam masyarakat yang pruralistik. Tetapi sama
sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan. Dengan bantuan sosiologi hukum ,
memang ketidak mudahan itu dapat dikemukakan kesukaran-kesukaran yang ada.
Dalam masyarakat yang monoistik, barangkali tidak begitu sukar menerapkan
ajaran sociological jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang
memiliki pruralistik –seperti masyarakat indonesia– nilai-nilai dan tata
tertibnya masing-masing serta juga pola perilaku yang spesifik pula.
Kita tidak dapat melupakan fakta, bahwa setiap kelompok
mempunyai tata tertip sendiri, dan fakta bahwa hubungan antara tertib ini
adalah terus menerus berobah menurut tipe masyarakat yang serba meliputi, yang
terhadapnya negara hanyalah merupakan suatu kelompok yang khusus dan suatu tata
tertip yang khusus pula. Konsepsi ini melahan membuat dia tak dapat menciptakan
masalah miskrososilogi hukum dan tipologi hukum difrensial dari kelompok
khusus. Dalam konteks ini, kita sampai pada batas relativisme dan titik
tinjauan fungsional yang telah merusak sosiologi hukum Rescoe Pound yang
sesungguhnya sangat halus dan kaya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa adalah
tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Dalam menerapkannya diperlukan
berbagai pendekatan untuk memahami dan menginventarisasi nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat majemuk yang memiliki tata tertip
sendiri dan pruralitik. Menurut Benjamnin Cardozo, bahwa penandasan Pound
terhadap kepetingan sosial, yang kadang-kadang dianggap sebagai kendrungan
kepada kerserbafaedahan sosial ( Social Utilitarianisme)- suatu pandangan yang
selalu ditolaknya, yang terbukti dari perlawanannya terhadap Ihering- pada
hakikatnya hanyalah merupakan suatu metode untuk mengajak pengadilan suapaya
memperhatikan kenyataan kelom-pok sosial khusus dan tertip sosialnya masing-
masing.
Cardozo dalam karyanya ” The Nature of Judicial Proses”
(1921 edisi ke 8, 1932), di mana dikemukakan, bahwa ketetapan keputusan pengadilan
yang makin bertambah adalah suatu manifestasi yang tak dapat di cegah dari
kenyataan bahwa proses pengadilan bukanlah penemuan, melainkan penciptaan,
penciptaan yang diperhebat oleh situasi kehidupan hukum yang sesungguhnya.
Pandangan tersebut sejalan dengan pandangan Pound, bahwa hukum harus
berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga
membahagiakan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Atau sebagaimana inti
dari ajaran Ilmu Hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang
mengutamakan kepentingan-kepentingan sosial yang lebih luas sehingga disini
“kepentingan merupakan inti Ilmu Hukum sosilogis yang merupakan keinginan atau
permintaan yang manusia ingin memenuhinya, baik secara pribadi, hubungan antar
pribadi, maupun kelompok. Atas dasar inilah kemudian Pound membedakan
kepentingan pribadi, kepentingan umum dan kepentingan sosial.
b.
The
Realistic Jurisprudence
Perbedaan mendasar
antara Sociological Jurisprudence dengan Realistic Jurisprudence terletak pada
tidak tersentuhnya prinsip0prinsip dasarnya. Menurut Milovanovic, the realistic
jurisprudence lebih merupakan gerakan sosial menuju ke pembaharuan hukum
daripada merupakan suatu rintisan baru yang akan dan terbuktu telah melahirkan
suatu mahzab baru.
Apabila dilacak secara
epistemologis, pemikiran Realisme Hukum dipengaruhi pragmatisme (filsafat yang
dikembangkan John Dewey dan William James) yang tumbuh subur di Amerika
Serikat. Seorang pragmatisme, lebih
percaya pada pengalaman daripada yang diperoleh dari logika ( a priori ) dan
konsep yang abstrak. Pragmatisme memberi
pengaruh pendekatan baru terhadap hukum, yaitu
menekankan perhatian pada hasil dan akibat.
Akibatnya, sikap
dan cara pandang Realisme Hukum cenderung “rules skeptic” sebagaimana dalam
ungkapannya “ for, after all, rules are
merely words and those words can get into action only through decision ”.
Itulah mengapa kaum Realisme Hukum lebih mengarahkan perhatiannya pada putusan
hakim (pada hasil konkrit)), bukan peraturan. Ciri-ciri daripada aliran realistic
jurisprudence menurut Karl Llewellyn adalah sebagai berikut :
a. Realisme
bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir
dan cara bekerja tentang hukum.
b. Realisme
adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk
mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan
maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami
perubahan daripada hukum.
c. Realisme
mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk
keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan itu . mempunyai tujuan,
maka hendaknya’ diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap
nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh
kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
d. Realisme
tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan
dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam
peraturan-peraturan : yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan
dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme
rnenciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan .keadaan-keadaan hukum yang lebih
kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa
lampau.
e. Gerakan
realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama akibatnya.
Pada intinya,
posisi kaum realis tak berbeda dengan para penganut doktrin sociological
jurisprudence yang mana untuk menentang gaya pemikiran formalisme. Para
penganut aliran ini menuntut kepastian dari bunyi norma hukum yang formal lalu
lebih dipentingkan daripada kemaslahatan yang didambakan secara riil oleh
mereka yang hidup di dunia ini.
Realistic
Jurisprudence lahir sebagai kritik terhadap Formalisme yang terlalu memusatkan
kajian pada hukum dalam kitab peraturan perundangan. Realistic jurisprudence berusaha
untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan hukum bekerja dan dilaksanakan
(how the rules of law work) dan bukan hukum yang tertulis dalam kitab peraturan
perundangan. Mempelajari bagaimana hukum bekerja dalam dunia nyata, berarti
meneliti di satu pihak unsur-unsur kemasyarakatan yang membuat hukum dan di
lain pihak meneliti akibat sosial hukum. Jadi realistic jurisprudence bertujuan
meneliti bagaimana pengalaman hukum itu dengan cara menghubungkan hukum dengan
fakta-fakta kemasyarakatan.
Dalam aliran
realistic jurisprudence ini juga dikemukakan kritik-kritik terhadap aliran
positivis formalis dan cara bekerjanya yang mekanis-deduktif pada dua tataran,
yang keduanya mengandung skeptisisme yang kuat. Para kaum realis pada umunya
menganggap perlu tetap terjaganya prediktibilitas dalam proses-proses hukum.
Menurut mereka dengan mengikuti kembali metode sains yang endasarkan diri pada
rasionalitas formal, tuntutan prediktibilitas itu dapat menseleksi da melatih
lebih sungguh-sungguh mereka yang akan berkhidmat sebagai hakim pada tingkatan
tertentu. Profesionalisme hakim haruslah lebih ditigkatkan, sedangkan
pengembangan jabatan karier hakim sebagai jabatan seumur hidup harus
dimungkinkan.
Kekhasan Realisme
Hukum bahwa hukum adalah “tidak menentukan” (legal indeterminacy). Karl Llewellyn secara radikal memperlihatkan
‘legal indeterminacy’ bahwa “ a statute cannot go beyond its text ”
(perundang-undangan tidak dapat melampaui teksnya), tetapi juga prinsip bahwa”
to effect its purpose a statute must be implemented beyond its text ” (untuk
mempunyai akibat pada tujuannya sebuah peratuan perundang-undangan harus
diimplementasikan melampaui teksnya). Legal indeterminacy mempunyai makna dua
hal :
1. Bahwa
hukum secara rasional tidak menentukan, dalam pemahaman bahwa hukum yang
tersedia tidak linier membenarkan sebuah putusan unik.
2. Bahwa
hukum adalah juga tidak menentukan secara eksplanatori atau secara
sebab-akibat, dalam pemahaman bahwa alasan hukum tidak mencukupi untuk
menjelaskan mengapa hakim memutuskan sebagaimana mereka putuskan.
Dibalik sejumlah
perbedaan, Realistic Jurisprudence dengan Positivisme Hukum sama-sama
menghindari dari segala hal yang abstrak dan metayuridis. Sebagaimana kita
ketahui, Positivisme Hukum lahir sebagai kritik terhadap Hukum Kodrat yang
abstrak (dan berbau metafisika) sehingga gagal memberi jaminan kepastian hukum.
Untuk memurnikan hukum dan mencapai kepastian, Positivisme Hukum kemudian
mengindentikan hukum dengan hukum positif. Padahal, apa yang tercantum dalam
hukum positif belum tentu menjadi kenyataan hukum. Cara berpikir yang
formalistik itu, kritik Jerome Frank, , merefleksikan suatu kenginan yang
kekanak-kanakan untuk kepastian dan keamanan ( reflected merely an infantile wish for certainty and security ).
c.
The
Critical Jurisprudence
Di
Amerika sekitar tahun 70-an berkembang sebuah aliran yang disebut “Critical
Legal Studies”. Critical legal studies merupakan arus pemikiran hukum yang
mencoba keluar dari hegemoni atau pikiran-pikiran yang dominan dari para ahli
hukum Amerika yang pada saat itu tengah dilanda. kemapanan. Aliran ini mencoba
rnenentang paradigma liberal yang melekat kuat dalam studi-studi hukum/
jurisprudence di Amerika melalui metodenya yang dikenal dengan metode
dekontrsuksi.
Dekonstruksi
dalam hukum merupakan strategi pembalikan untuk membantu mencoba melihat makna
istilah yang tersembunyi, yang kadangkala istilah tersebut telah cenderung diistimewakan melalui sejarah, meski
dekonstruksi itu sendiri berada pada hubungan istilah/wacana tersebut. Balkin
memberikan penjelasan bahwa ada tiga hal menarik dalam teknik dekonstruksi
hukum, yaitu :
1.
Teknik
ini memberikan metodologi/cara untuk melakukan kritlk mendalam tentang
doktrin-doktrin hukum.
2.
Dekonstruksi dapat menjelaskan bagaimana
argumentasi•argumentasi hukum, berbeda dengan ideologi.
3.
Menawarkan cara interpretasi baru terhadap teks
hukum.
Apa
yang dimaksud dengan paradigma hukum liberal?. Ronald Drowkin, menyatakan bahwa
“law is based on ‘objective’
decisions principles, while politics depends on ‘subjective’ decisions of policy” . Inilah yang disebut sebagai
jantung teori hukum liberal, dan inilah yang persisnya ditolak oleh Critical Legal Studies.
Aliran
ini memberikan argumentasinya bahwa tidak mungkin proses-proses hukum (entah
dalam proses pembentukan Undang-undang atau proses penafsirannya) berlangsung
dalam konteks bebas dan atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan
pluralisme politik. Dengan kata lain menurut aliran ini tidak mungkin
mengisolasi hukum dari konteks di mana hukum tersebut eksis.
Menurut
Critical Legal Studies teori-teori yang dikembangkan oleh aliran hukum liberal
(termasuk di dalamnya realisme hukum) merupakan bentuk penghindaran terhadap
adanya latar belakang politik dan ideologic di balik putusan-putusan hakim dan
Undang-Undang. Oleh karena itu menurut lfdhal Kasim Gerakan Studi Hukum Kritis
mengkonsepsikan hukum sebagai “negotiable, subjective and policy – depends as
Politics.
Ada
beberapa model pemikiran yang dominan dalam arus pemikiran ini, paling tidak
ada tiga yaitu,
1.
Pemikiran yang diwakili oleh Roberto M. Unger,
yang mencoba mengintegrasikan dua paradigma yang saling bersaing, yakni antara
paradigma konflik dan paradigma konsensus.
2.
Pemikiran yang diwaliki oleh David Kairys yang
mewarisi tradisi pemikiran Marxis atau tepatnya mewarisi kritlk Marxis terhadap
hukum liberal yang hanya dianggap melayani sistem kapitalisme.
3. Pemikiran
yang diawali oleh Duncan Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang
membaurkan sekaligus perspektif strukturalis fenomenologis dan neo Marxis.
CLS
mengkritik metode Langdell (Formalisme Hukum) yang lebih memusatkan pada kasus;
bagaimana hukum diterapkan secara obyektif, formalistik, dan dapat
diprediksikan. Pendekatan Formalisme
Hukum hanya menyiapkan mahasiswa sebagai tukang dan menjadi bagian ekonomi
kapitalisme. Pendekatan ini mengisolasi mahasiswa dan menjadi bagian dari sekrup kapitalisme.
Para lawyer yang bekerja untuk korporasi
hanya melayani klien yang mau membayarya
tanpa kritis mempertanyakan tentang keadilan dan ketidakadilan.
Dengan
demikian, Critical Legal Studies (CLS) melihat hukum dibentuk oleh berbagai
faktor non-hukum: kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik. Pembentukan
hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi berbagai kelompok
masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari
konteks sosial-politiknya, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai
masalah sosial politik: diskriminasi ras, gender, agama, atau kelas.
CLS secara elektis meminjam perspektif Marxism dalam melihat hukum yang tidak pernah
bebas kepentingan. Pengaruh Marxism dalam CLS terlihat dalam kritiknya terhadap
asas ‘ Equality before the Law ’. CLS
melihat hukum berpihak. Mereka mengkritik asas ‘ Equality before the Law ’ yang
diyakini oleh kalangan positivis dan liberal, ternyata hanya retorika
belaka.
Namun
CLS tidak sepenuhnya sama dengan Marxism . Bedanya, Marxism melihat hukum
semata-mata hanya sebagai alat kelas yang berkuasa untuk menindas kelas bawah,
tetapi bagi CLS hukum bukan hanya instrumen ekonomi belaka melainkan pada derajat
tertentu hukum itu semi otonom. Dalam
perkembangannya, CLS tidak hanya berbicara masalah kelas sebagaimana Marxism
tetapi juga diskriminasi ras, gender, lingkungan dan sebagainya.
CLS menolak anggapan tentang netralitas
obyektivitas hukum sebagaimana yang diyakini Positivisme Hukum. Sebab - menurut Roberto M. Unger – setiap metode
hukum tertentu akan menghasilkan pilihan hukum tertentu. Dengan kata lain
metode hukum yang dipilih oleh praktisi hukum akan menghasilkan keputusan hukum
yang tertentu pula. Setiap pembuatan hukum dengan sendirinya mencerminkan
nilai-nilai sosial-politik tertentu. Tentang hal ini Unger mengkritik
obyektivisme dan formalisme,” The first
concern has been the critique of formalism and objectivism “. CLS menusuk
jantung formalisme hukum sebagaimana dianut sistem hukum liberal dengan
mengajukan keberatan, yaitu terhadap konsep the rule of law. Dalam
prespektif CLS, tidak ada yang dinamakan
the rule of law , karena yang ada adalah the rule of the rulers.
Dengan
mengacu kepada proses-proses empiric pembuatan kebijakan hukum, Unger
menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik. Analisis hukum yang hanya
memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata
dengan demikian mengisolasi hukum dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu
yang’ terjadi secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial. Analisis
mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu
sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan sesuatu tatanan sosial tertentu. Hal
ini dapat dilihat pada analisis Duncan Kennedy terhadap karya ahli hukum abad
18, William Blackstone yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan hukum di
Amerika.
Kritik
terhadap teori pemisahan hukum dan politik, yang dipaparkan di atas, hanya
merepresentasikan salah satu aspek dari kritlk yang dikembangkan oleh gerakan
Critical Legal Studies yang sangat kompleks.