Tuesday 10 February 2015

REVIEW BUKU SOETADYO WIGNJOSOEBROTO


 
 REVIEW
BUKU KARANGAN SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO “PERGESERAN PARADIGMA DALAM KAJIAN-KAJIAN SOSIAL DAN HUKUM”
BAB 09 :
“LEGISME : PAHAM POSITIVISME DALAM KAJIAN HUKUM DAN KRITIK-KRITIK TERHADAPNYA”


Untuk melengkapi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum
yang diampu oleh Pradjarta Dirdjosanjoto, S.H., Ph.D.




Oleh :

 Nama        : Wiwit Widya Wirawati, S.H.
 NIM           : A. 312.0214.051
    Kelas         : B


MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2015

Dalam pendahuluan awal pada Bab 09 tersebut dituliskan bahwa “perkembangan pemikiran filsafati dalam ilmu hukum yang dikonstruksi oleh kaum liberal dengan mengakui paradigma legisme yang positivistis itu menjadi kurang realistis lagi dan terkesan gagal menjawab berbagai permasalahana yang timbul di tengah perubahan”. Dikatakan menjadi kurang realistis dan terkesan gagal dikarenakan positivisme yang semula bercorak deskripsi-empirik kemudian di ranah hukum berubah menjadi preskriptif.
Selain itu buah pemikiran John Austin maupun Hans Kelsen yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai pembentuk hukum, dimana buah pemikiran tersebut dinilai banyak pengaruhnya pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa tersebut maupun sesudahnya. Berikut adalah buah pemikiran John Austin dalam uraiannya tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini, dia mengatakan, “Hukum merupakan perintah dari manusia (command of human being)”.
-   Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu pihak dengan moral di lain pihak, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
-    Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula dari penilaian yang bersifat kritis.
-   Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup, dan di dalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum .yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan social, politik, dan ukuran-ukuran moral.
 Akan tetapi terdapat kelemahan fatal dari pemikiran John Austin dan Hans Kelsen tersebut yaitu bahwa hendaknya diperhatikan bahwa selain buah pikiran yang selaras dengan situasi yang mendukungnya, terdapat pula buah-buah pikiran lain yang justru merupakan penentangan terhadap situasi itu, dan berusaha untuk mengubahnya. Hal tersebut pula yang menyebabkan pada abad 19 hukum secara nyata mulai kehilangan kemampuan fungsional  sebagai alat kontrol sosial dimana pada masa tersebut berguna untuk merealisasikan apa yang telah dicita-citakan. Menurut penulis hal tersebut wajar saja terjadi karena kelemahan dari buah pemikiran John Austin dan Hans Kelsen tersebut, dimana buah pemikiran mereka yang terlalu ideal dan hanya benar atau sesuai dengan semboyan atau retorika belaka yang mereka yakini, dimana tidak semua hal dapat menjadi kenyataan.
Secara spesifik, penyebab kurang realistisnya paradigma legisme positif dapat dijabarkan sebagai berikut :
 -  Apa yang dimaksud dengan kaidah moral, secara yuridis tidak penting bagi hukum walau diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat.
-  Pandangannya bertentangan, baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
-  Hakikat hukum semata-mata adalah perintah – semua hukum positif merupakan perintah dari penguasa/yang berdaulat.
-  Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab berada dalam ruang lingkup dunia politik/sosiologi – hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan.
- Ajaran Austin dan aliran hukum positif pada umumnya kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
                        Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
            Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial.
Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.
            Kegagalan seperti itulah yang mulai mengundang kritik terhadap kemapanan doktrin dalam ilmu hukum yang sudah tak realistis lagi, namun nyatanya masih bertahan secara konservatif dalam paradifmanya yang positivistis dan legistis tersebut. Salah satu kajian yang mengilhami munculnya kritik-kritik terhadap positivistis dan legistis adalah munculnya kesadaran bahwa tertib hukum yang normatif  dan tertib sosial  yang aktual tidak lagi sama dan sebangun. Munculnya kesadaran tersebut dilatarbelakni oleh adanya akibat perubahan kehidupan yang dapat disimak yang mana menimbulkan selisih yang lebar antara apa yang dituntut secara normatif demi tegaknya hukum formal dan apa yang senyatanya terjadi dalam fakta yang aktual dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan untuk meniadakan the legal gap yang mana menjadi sebuah polemik yang tiada henti dalam arena politik hukum. Dimana kaum positivis menginginkan perlunya hukum untuk dihormati dan ditegakkan sekalipun langit akan runtuh. Hal tersebut berbeda pemikiran dengan pengkaji dan praktisi hukum yang pragmatis dan progresif dimana menginginkan kebijakan legal reform untuk meniadakan atau mengurangi adanya legal gaps. Pembaruan hukum lebih dipercaya akan menjadikan substansi hukum akan selalu dapat dimutakhirkan mengikuti perubahan dan perkembangan kehidupan yang ada.
Menurut pendapat penulis, penulis cendenrung lebih menyetujui dengan pendapat para praktisi dan pengkaji hukum mengenai adanya legal reform dalam ranah politik hukum. Hal tersebut didasarkan dengan pemikiran suatu hukum yang baik, adalah hukum yang bersifat fleksibel dalam artian hukum tersebut tidaklah kaku dan lebih terkesan berkarakter responsif. Hukum yang fleksibel, dia akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan selalu up to date, dimana tidak selalu mendayagunakan secara penuh kekuatan sanksi, karena hal tersebut justru akan menjadikan hukum terkesan kaku dan represif.
Dalam perkembangan pemikiran ilmu hukum yang pragmatis di Amerika Serikat, tercatat 3 arus pemikiran utama, yaitu :
a.    The Sociological Jurisprudence
Dari beberapa aliran yang dikenal dalam filsafat hukum aliran sociological jurisprudence bisa dikatakan sebagai aliran yang memiliki berbagai pendekatan, dan dipandang dapat menedekatkan cita-cita akan hukum yang responsif dengan perkembangan masyarakat. Sociological Jurisprudence muncul sebagai reaksi keras  Roscoe Pound terhadap ajaran dari C. Langdell.
Dalam pendapatnya, Langdell berpendapat bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang termasuk dalam golongan ilmu eksakta, yang tak ada bedanya dengan ilmu fisika yang bekerja atas dasar temuan sebab akibat. Menurut Langdell pula, bahwa para yuris haruslah tahu dan mampu mendayagunakan perpustakaan hukum layaknya para ilmuwan fisika mempergunakan laboraturiumnya. Idealnya para yuris haruslah dapat dengan mudah menemukan hubungan antara suatu perbuatan hukum yang berfungsi sebagai penyebab dan apa yang akan menjadi akibat hukumnya.
Kajian hukum Langdell tersebut menurut Soetandyo Wigjosoebroto, dinilai sebagai positivistik atau lebih tegas lagi disebut legal science atau mechanistic jurisprudence. Patrick J. Kelley mengelaborasi pemikiran Landell sebagai berikut :
1.      Hukum harus dipelajari secara scientific, dengan mempelajari sumber asli (original sources) yakni kasus-kasus yang telah diputuskan.
2.      Hukum sebagai sebuah ilmu terdiri doktrin fundamental yang pasti, yang relatif sedikit jumlahnya.
3.      Doktrin-doktrin fundamental itu  tumbuh ke bentuk saat ini secara perlahan-lahan, dan pertumbuhan itu dapat dilacak melalui serangkaian kasus-kasus.
4.      Klasifikasi yang tepat dari doktrin-doktrin hukum fundamental itu akan memfasilitasi studi hukum.
Mereaksi keras terhadap pemikiran Langdell tersebut, Pound menyatakan bahwa sesungguhnya ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat, karena pada hakikatnya hukum itu adalah sarana sosial kontrol. Hukum adalah bentuk sarana sosial kontrol yang khusus . yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif. Dari argumen tersebut, muncullah pendapat Pound yang terkenal bahwa law is a tool of social engineering.
Pendapat Pound tersebut pada intinya adalah bahwa aturan-aturan hukum haruslah dipandang “hanya” sebagai pedoman atau pengarah saja bagi seorang hakim dalam membuat amar putusan terhadap perkara yang tengah ditanganinya. Karena itu bagi Pound, hukum harus berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan masyarakat bersangkutan. Ini kemudian dapat berarti hukum di pandang sebagai alat yang secara alami mengontrol kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan pesyaratan-persyaratan tertip sosial.
Inti dari ajaran aliran Sociological Jurisprudence ini sebagaimana yang berkembang di Amerika adalah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sesuai disini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat. Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law, hukum yang hidup dalam masyarakat. dan kelahirannya menurut beberapa anggapan adalah merupakan suatu sinthese dari thesenya yaitu positivisme hukum dan antithesenya dari mazhab sejarah.
-       Kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence.
Sekalipun aliran socilogical jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita hukum masyarakat yang terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, bukan berarti tanpa kritik.
Suatu hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisrudence Pound, ia lebih mengtamakan tujuan praktis dengan :
 (1) Menelaah akibat sosial yang aktuil dari lembaga hukum dan doktirin hukum, katena itu , ia lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi abstraknya.
 (2) Memajukan telaah sosiologis berkenaan dengan telaah hukum untuk mempersipakan perundang-undangan, karena itu, ia menganggab hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha yang cerdik guna menemukan cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha usaha demikian itu.
 (3) Mempelajari cara membuat peraturan yang efektif dan menitik beratkan pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya pada sanksi.
 (4) Menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara mengahasilkannya.
(5) Membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran hukum harus dianggap sebagai bentuk yang tidak dapat berubah.
(6) Meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif.
Program sosiologis jurisprudence Pound itu kelihatan berpengaruh dalam pandangannya yakni apa yang disebut dengan hukum sebagai social engineering serta ajaran sociological jurisprudence yang dikembangkannya. Dimana hukum yang baik itu adalah hukum yang sesuai dengan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini mengetengahkan pentingnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimana hukum positif akan baik apabila ada hubungan dengan peraturan yang terletak di dasar dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan antropologis.
Tidak mudah untuk mewujudkan cita-cita hukum yang demikian. Ia tidak saja dimungkinkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai dan tertip yang ada dalam masyarakat sebagai suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama dalam masyarakat yang pruralistik. Tetapi sama sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan. Dengan bantuan sosiologi hukum , memang ketidak mudahan itu dapat dikemukakan kesukaran-kesukaran yang ada. Dalam masyarakat yang monoistik, barangkali tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik –seperti masyarakat indonesia– nilai-nilai dan tata tertibnya masing-masing serta juga pola perilaku yang spesifik pula.
Kita tidak dapat melupakan fakta, bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertip sendiri, dan fakta bahwa hubungan antara tertib ini adalah terus menerus berobah menurut tipe masyarakat yang serba meliputi, yang terhadapnya negara hanyalah merupakan suatu kelompok yang khusus dan suatu tata tertip yang khusus pula. Konsepsi ini melahan membuat dia tak dapat menciptakan masalah miskrososilogi hukum dan tipologi hukum difrensial dari kelompok khusus. Dalam konteks ini, kita sampai pada batas relativisme dan titik tinjauan fungsional yang telah merusak sosiologi hukum Rescoe Pound yang sesungguhnya sangat halus dan kaya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Dalam menerapkannya diperlukan berbagai pendekatan untuk memahami dan menginventarisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat majemuk yang memiliki tata tertip sendiri dan pruralitik. Menurut Benjamnin Cardozo, bahwa penandasan Pound terhadap kepetingan sosial, yang kadang-kadang dianggap sebagai kendrungan kepada kerserbafaedahan sosial ( Social Utilitarianisme)- suatu pandangan yang selalu ditolaknya, yang terbukti dari perlawanannya terhadap Ihering- pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu metode untuk mengajak pengadilan suapaya memperhatikan kenyataan kelom-pok sosial khusus dan tertip sosialnya masing- masing.
Cardozo dalam karyanya ” The Nature of Judicial Proses” (1921 edisi ke 8, 1932), di mana dikemukakan, bahwa ketetapan keputusan pengadilan yang makin bertambah adalah suatu manifestasi yang tak dapat di cegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan bukanlah penemuan, melainkan penciptaan, penciptaan yang diperhebat oleh situasi kehidupan hukum yang sesungguhnya. Pandangan tersebut sejalan dengan pandangan Pound, bahwa hukum harus berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Atau sebagaimana inti dari ajaran Ilmu Hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang mengutamakan kepentingan-kepentingan sosial yang lebih luas sehingga disini “kepentingan merupakan inti Ilmu Hukum sosilogis yang merupakan keinginan atau permintaan yang manusia ingin memenuhinya, baik secara pribadi, hubungan antar pribadi, maupun kelompok. Atas dasar inilah kemudian Pound membedakan kepentingan pribadi, kepentingan umum dan kepentingan sosial.

b.   The Realistic Jurisprudence
Perbedaan mendasar antara Sociological Jurisprudence dengan Realistic Jurisprudence terletak pada tidak tersentuhnya prinsip0prinsip dasarnya. Menurut Milovanovic, the realistic jurisprudence lebih merupakan gerakan sosial menuju ke pembaharuan hukum daripada merupakan suatu rintisan baru yang akan dan terbuktu telah melahirkan suatu mahzab baru.
Apabila dilacak secara epistemologis, pemikiran Realisme Hukum dipengaruhi pragmatisme (filsafat yang dikembangkan John Dewey dan William James) yang tumbuh subur di Amerika Serikat.  Seorang pragmatisme, lebih percaya pada pengalaman daripada yang diperoleh dari logika ( a priori ) dan konsep yang abstrak.  Pragmatisme memberi pengaruh pendekatan baru terhadap hukum, yaitu  menekankan perhatian pada hasil dan akibat.
Akibatnya, sikap dan cara pandang Realisme Hukum cenderung “rules skeptic” sebagaimana dalam ungkapannya “ for, after all, rules are merely words and those words can get into action only through decision ”. Itulah mengapa kaum Realisme Hukum lebih mengarahkan perhatiannya pada putusan hakim (pada hasil konkrit)), bukan peraturan. Ciri-ciri daripada aliran realistic jurisprudence menurut Karl Llewellyn adalah sebagai berikut :
a.     Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b.    Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
c.     Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk keperluan suatu penyelidikan.  Agar penyelidikan itu . mempunyai tujuan, maka hendaknya’ diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
d.    Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan : yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme rnenciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan .keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
e.    Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama akibatnya.
Pada intinya, posisi kaum realis tak berbeda dengan para penganut doktrin sociological jurisprudence yang mana untuk menentang gaya pemikiran formalisme. Para penganut aliran ini menuntut kepastian dari bunyi norma hukum yang formal lalu lebih dipentingkan daripada kemaslahatan yang didambakan secara riil oleh mereka yang hidup di dunia ini.
Realistic Jurisprudence lahir sebagai kritik terhadap Formalisme yang terlalu memusatkan kajian pada hukum dalam kitab peraturan perundangan. Realistic jurisprudence berusaha untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan hukum bekerja dan dilaksanakan (how the rules of law work) dan bukan hukum yang tertulis dalam kitab peraturan perundangan. Mempelajari bagaimana hukum bekerja dalam dunia nyata, berarti meneliti di satu pihak unsur-unsur kemasyarakatan yang membuat hukum dan di lain pihak meneliti akibat sosial hukum. Jadi realistic jurisprudence bertujuan meneliti bagaimana pengalaman hukum itu dengan cara menghubungkan hukum dengan fakta-fakta kemasyarakatan.
Dalam aliran realistic jurisprudence ini juga dikemukakan kritik-kritik terhadap aliran positivis formalis dan cara bekerjanya yang mekanis-deduktif pada dua tataran, yang keduanya mengandung skeptisisme yang kuat. Para kaum realis pada umunya menganggap perlu tetap terjaganya prediktibilitas dalam proses-proses hukum. Menurut mereka dengan mengikuti kembali metode sains yang endasarkan diri pada rasionalitas formal, tuntutan prediktibilitas itu dapat menseleksi da melatih lebih sungguh-sungguh mereka yang akan berkhidmat sebagai hakim pada tingkatan tertentu. Profesionalisme hakim haruslah lebih ditigkatkan, sedangkan pengembangan jabatan karier hakim sebagai jabatan seumur hidup harus dimungkinkan.
Kekhasan Realisme Hukum bahwa hukum adalah “tidak menentukan” (legal indeterminacy).  Karl Llewellyn secara radikal memperlihatkan ‘legal indeterminacy’ bahwa “ a statute cannot go beyond its text ” (perundang-undangan tidak dapat melampaui teksnya), tetapi juga prinsip bahwa” to effect its purpose a statute must be implemented beyond its text ” (untuk mempunyai akibat pada tujuannya sebuah peratuan perundang-undangan harus diimplementasikan melampaui teksnya). Legal indeterminacy mempunyai makna dua hal :
1.      Bahwa hukum secara rasional tidak menentukan, dalam pemahaman bahwa hukum yang tersedia tidak linier membenarkan sebuah putusan unik. 
2.      Bahwa hukum adalah juga tidak menentukan secara eksplanatori atau secara sebab-akibat, dalam pemahaman bahwa alasan hukum tidak mencukupi untuk menjelaskan mengapa hakim memutuskan sebagaimana mereka putuskan.
Dibalik sejumlah perbedaan, Realistic Jurisprudence dengan Positivisme Hukum sama-sama menghindari dari segala hal yang abstrak dan metayuridis. Sebagaimana kita ketahui, Positivisme Hukum lahir sebagai kritik terhadap Hukum Kodrat yang abstrak (dan berbau metafisika) sehingga gagal memberi jaminan kepastian hukum. Untuk memurnikan hukum dan mencapai kepastian, Positivisme Hukum kemudian mengindentikan hukum dengan hukum positif. Padahal, apa yang tercantum dalam hukum positif belum tentu menjadi kenyataan hukum. Cara berpikir yang formalistik itu, kritik Jerome Frank, , merefleksikan suatu kenginan yang kekanak-kanakan untuk kepastian dan keamanan ( reflected merely an infantile wish for certainty and security ).

c.    The Critical Jurisprudence
Di Amerika sekitar tahun 70-an berkembang sebuah aliran yang disebut “Critical Legal Studies”. Critical legal studies merupakan arus pemikiran hukum yang mencoba keluar dari hegemoni atau pikiran-pikiran yang dominan dari para ahli hukum Amerika yang pada saat itu tengah dilanda. kemapanan. Aliran ini mencoba rnenentang paradigma liberal yang melekat kuat dalam studi-studi hukum/ jurisprudence di Amerika melalui metodenya yang dikenal dengan metode dekontrsuksi.
Dekonstruksi dalam hukum merupakan strategi pembalikan untuk membantu mencoba melihat makna istilah yang tersembunyi, yang kadangkala istilah tersebut telah cenderung  diistimewakan melalui sejarah, meski dekonstruksi itu sendiri berada pada hubungan istilah/wacana tersebut. Balkin memberikan penjelasan bahwa ada tiga hal menarik dalam teknik dekonstruksi hukum, yaitu :
1.       Teknik ini memberikan metodologi/cara untuk melakukan kritlk mendalam tentang doktrin-doktrin hukum.
2.      Dekonstruksi dapat menjelaskan bagaimana argumentasi•argumentasi hukum, berbeda dengan ideologi.
3.      Menawarkan cara interpretasi baru terhadap teks hukum.
Apa yang dimaksud dengan paradigma hukum liberal?. Ronald Drowkin, menyatakan bahwa “law is based on ‘objective’ decisions principles, while politics depends on ‘subjective’ decisions of policy” . Inilah yang disebut sebagai jantung teori hukum liberal, dan inilah yang persisnya ditolak  oleh Critical Legal Studies.
Aliran ini memberikan argumentasinya bahwa tidak mungkin proses-proses hukum (entah dalam proses pembentukan Undang-undang atau proses penafsirannya) berlangsung dalam konteks bebas dan atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan pluralisme politik. Dengan kata lain menurut aliran ini tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana hukum tersebut eksis.
Menurut Critical Legal Studies teori-teori yang dikembangkan oleh aliran hukum liberal (termasuk di dalamnya realisme hukum) merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan ideologic di balik putusan-putusan hakim dan Undang-Undang. Oleh karena itu menurut lfdhal Kasim Gerakan Studi Hukum Kritis mengkonsepsikan hukum sebagai “negotiable, subjective and policy – depends as Politics.
Ada beberapa model pemikiran yang dominan dalam arus pemikiran ini, paling tidak ada tiga yaitu,
1.      Pemikiran yang diwakili oleh Roberto M. Unger, yang mencoba mengintegrasikan dua paradigma yang saling bersaing, yakni antara paradigma konflik dan paradigma konsensus.
2.      Pemikiran yang diwaliki oleh David Kairys yang mewarisi tradisi pemikiran Marxis atau tepatnya mewarisi kritlk Marxis terhadap hukum liberal yang hanya dianggap melayani sistem kapitalisme.
3.    Pemikiran yang diawali oleh Duncan Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis fenomenologis dan neo Marxis.
CLS mengkritik metode Langdell (Formalisme Hukum) yang lebih memusatkan pada kasus; bagaimana hukum diterapkan secara obyektif, formalistik, dan dapat diprediksikan.  Pendekatan Formalisme Hukum hanya menyiapkan mahasiswa sebagai tukang dan menjadi bagian ekonomi kapitalisme. Pendekatan ini mengisolasi mahasiswa  dan menjadi bagian dari sekrup kapitalisme. Para  lawyer yang bekerja untuk korporasi hanya melayani klien yang mau membayarya  tanpa kritis mempertanyakan tentang keadilan dan ketidakadilan.
Dengan demikian, Critical Legal Studies (CLS) melihat hukum dibentuk oleh berbagai faktor non-hukum: kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik. Pembentukan hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari konteks sosial-politiknya, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik: diskriminasi ras, gender, agama, atau kelas.
CLS  secara elektis meminjam perspektif  Marxism dalam melihat hukum yang tidak pernah bebas kepentingan. Pengaruh Marxism dalam CLS terlihat dalam kritiknya terhadap asas ‘ Equality before the Law ’. CLS melihat hukum berpihak. Mereka mengkritik asas ‘ Equality before the Law ’ yang diyakini oleh kalangan positivis dan liberal, ternyata hanya retorika belaka.   
Namun CLS tidak sepenuhnya sama dengan Marxism . Bedanya, Marxism melihat hukum semata-mata hanya sebagai alat kelas yang berkuasa untuk menindas kelas bawah, tetapi bagi CLS hukum bukan hanya instrumen ekonomi belaka melainkan pada derajat tertentu  hukum itu semi otonom. Dalam perkembangannya, CLS tidak hanya berbicara masalah kelas sebagaimana Marxism tetapi juga diskriminasi ras, gender, lingkungan dan sebagainya.
  CLS menolak anggapan tentang netralitas obyektivitas hukum sebagaimana yang diyakini Positivisme Hukum. Sebab -  menurut Roberto M. Unger – setiap metode hukum tertentu akan menghasilkan pilihan hukum tertentu. Dengan kata lain metode hukum yang dipilih oleh praktisi hukum akan menghasilkan keputusan hukum yang tertentu pula. Setiap pembuatan hukum dengan sendirinya mencerminkan nilai-nilai sosial-politik tertentu. Tentang hal ini Unger mengkritik obyektivisme dan formalisme,” The first concern has been the critique of formalism and objectivism “. CLS menusuk jantung formalisme hukum sebagaimana dianut sistem hukum liberal dengan mengajukan keberatan, yaitu terhadap konsep the rule of law. Dalam prespektif  CLS, tidak ada yang dinamakan the rule of law , karena yang ada adalah the rule of the rulers. 
Dengan mengacu kepada proses-proses empiric pembuatan kebijakan hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum  dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasi hukum dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang’ terjadi secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial. Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan sesuatu tatanan sosial tertentu. Hal ini dapat dilihat pada analisis Duncan Kennedy terhadap karya ahli hukum abad 18, William Blackstone yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan hukum di Amerika.
Kritik terhadap teori pemisahan hukum dan politik, yang dipaparkan di atas, hanya merepresentasikan salah satu aspek dari kritlk yang dikembangkan oleh gerakan Critical Legal Studies yang sangat kompleks.

Monday 9 February 2015

TITIK ARGUMENTASI JURISPRUDENCE SEBAGAI ILMU HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengantar
Ilmu atau ilmu pengetahuan memang berkembang begitu cepat. Ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, fase, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang objeknya adalah hukum.
Terdapat beberapa pemahaman untuk mendefinisikan atau menjelaskan “ilmu hukum”. Berikut definisi/penjelesan yang dimaksud sebagaimana dikutip dari beberapa literatur :
1.    Buku pengantar ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki).
           Dalam bukunya pengantar ilmu hukum, Peter Mahmud Marzuki memulai dengan menuliskan ungkapan lama quot homines, tot sententiae yang artinya “sebanyak jumlah manusia itulah banyaknya pengertian”. Dalam Bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence, dalam Bahasa Belanda ilmu hukum disebut rechwetenchap, dan dalam Bahasa Perancis disebut dengan theorie generale du droit. Bahasa Jerman secara bergantian menyebut ilmu hukum sebagai jurisprudence dan rechwetenchap. Beberapa penulis berbahasa Inggris ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.
2.    Ilmu Hukum menurut Satjipto Rahardjo.
           Ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai ilmu tentang hukum dalam seginya yang paling umum. Segenap usaha untuk mengembalikan suatu kasus kepada suatu peraturan, adalah kegiatan ilmu hukum, sekalipun nama yang umumnya dipakai dalam bahasa inggris dibatasi pada artiannya sebagai aturan-aturan yang paling luas dan konsep yang paling fundamental.
Ilmu hukum menunjukkan penafsiran normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang tergabung dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan demikian  menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu.
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum.

B.  Rumusan Masalah
Mengapa dalam ilmu hukum dipergunakan istilah jurispridence, bukan the science of law atau legal science? Dimana titik argumentasinya?.

BAB II
PEMBAHASAN

Untuk mendapatkan pengertian ilmu hukum, perlu diingat ungkapan lama quot homines, tot sententiae. Dalam bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence. Akan tetapi ada beberapa penulis berbahasa Inggris menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.
Salmond, misalnya menyatakan: “If we use the term science in its widest permissible sense as including the systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry, we may define jurisprudence as the science of civil law”. Begitu juga Keaton. Menurutnya, “the science of jurisprudence may be considered as the strictly and systematic arrangement of the general principles of law”. Sama halnya Roscoe Pound menyatakan “jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial sense, as denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the administration of justice”.
Di dalam Webster Dictionary, kata science berarti knowledge or a system of knowledge covering general truths or the operation of general laws especially as obtained and tested through scientific method. Selanjutnya, kamus itu menyebutkan bahwa such knowledge or such a system of knowledge concerned with the physical world and its phenomena: NATURAL SCIENCE. Dengan berpegang kepada kamus itu, tidak dapat disangkal bahwa kata science memang merujuk kepada tidak lain dari pada ilmu alamiah. Jenis ilmu ini hanya dapat diperoleh melalui metode ilmiah atau scientific method. Sedangkan mengenai scientific method, Webster mendefinisikan sebagai principles and procedures for the systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulation of a problem, the collection of data through observation and experiment, and the formulation and testing of hypotheses.
Francis Bacon adalah orang yang pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun dilakukan beberapa perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad XVII. Para ilmuwan mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati gejala-gejala secara cermat dan teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam apa yang mereka temukan, menganalisisnya, dan mempublikasikannya. Dengan berjalannya waktu, mereka bekerja sama dengan para koleganya dari bidang studi yang sama dan mengumpulkan temuan-temuan itu sebagai data yang dapat dipercaya. Dalam suatu situasi semacam itu, para ilmuwan tidak mulai dengan menyusun hipotesis, melainkan mereka mulai dengan melakukan observasi.
Semakin banyak data terkumpul, semakin banyak gejala ilmiah terungkap.
Niat para ilmuwan adalah menjelaskan gejala-gejala alamiah secara ilmiah. Kegiatan semacam ini dimulai dengan menyusun hipotesis dan bukan dengan melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala yang ada. Hipotesis adalah suatu praduga yang bersifat tentatif yang dibuat untuk menarik kesimpulan dan menguji sesuatu yang bersifat empiris.
Auguste Comte dipandang sebagai pendiri positivisme. Ia membedakan tiga tahap besar evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap theologis. Pada tahap ini semua gejala diterangkan dengan merujuk kepada kausa yang bersifat supranatural dan campur tangan sesuatu yang ilahi.
Tahap kedua adalah tahap metafisika.Di dalam tahap ini pikiran dikembalikan kepada prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang mendasar yang dipandang berada di bawah permukaan yang membentuk kekuatan nyata dalam evolusi manusia.
Tahap ketiga, yaitu tahap terakhir adalah tahap positif. Tahap ini menolak semua konstruksi hipotetetis yang ada dalam filsafat dan membatasi diri kepada observasi empiris dan hubungan di antara fakta melalui metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alamiah.
Sejak paruh kedua abad XIX, positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte menjadi suatu pola ilmu-ilmu sosial. Sebagai seorang pengagum ilmu-ilmu alamiah, John Stuart Mill percaya bahwa ada hukum kausalitas yang mengatur manusia dalam hidup bermasyarakat sama halnya dengan dunia fisika. Dia menerapkan metode ilmiah kepada studi-studi sosial. Hal ini merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi diterapkannya metode untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itulah tepatlah jika katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mill tersebut disebut “naturalisticsocial science. Jika poitivisme begitu kuat mempengaruhi Mill dalam bidang ilmu sosial, pada ilmu hukum, pengaruh tersebut telah mempengaruhi John Austin..
John Austin dipandang sebagai pendiri legal positivism. Dalam karyanya “Essays on Equality, Law, and Education”, John Stuart Mill menulis tentang Austin: “No writer whom we know had more of the qualities needed for initiating and disciplining other minds in the difficult art of precise thought”. Setelah mempelajari Hukum Romawi, Austin menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum Inggris.
 Austin kemudian membuat perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of ethics. Ia menyatakan bahwa “the science of jurisprudence is concerned with positive laws, or with laws strictly so called, as considered without regard to their goodness and badness.” Yuris, menurut Austin hanya berhubungan dengan hukum sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filosof ethika berhubungan dengan hukum yang seharusnya.
Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan dengan hukum yang ideal atau yang adil. Legal positivism didirikan sebagai suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat anti metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya, memerlukan pengetahuan yang objektif. Suatu pengetahuan objektif adalah suatu pernyataan mengenai suatu gejala yang harus diverifikasi dan eksistensinya harus didasarkan pada fakta yang dapat diobservasi dan dikontrol. Austin mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati.
Dalam pandangan Austin, hukum terdiri dari perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan dengan merujuk kepada aturan-aturan tingkah laku lahiriah. Bagi Austin, evaluasi terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang lain. Dengan demikian, Austin menulis tentang hukum dari perspektif sosiolog yang bebas nilai. Dengan menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, kaum positivis berpendapat bahwa suatu pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris itulah yang dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Mereka menolak semua gejala yang berada dalam kategori nilai-nilai.
Kaum positivis hanya berpegang kepada induksi yaitu dengan mengamati fakta empiris untuk memverifikasi hipotesis yang diajukan, melakukan inferensi, dan akhirnya menghasilkan teori eksplanatoris. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan empiris oleh kaum positivis dianggap telah menghasilkan hukum-hukum ilmiah yang bersifat umum dan seragam.
Menurut Bernard Barber, prosedur semacam itu dapat diterapkan untuk ilmu-ilmu sosial. Ia menyatakan “Science is a unity, whatever the class of empirical materials to which it is applied, and therefore, natural and social science belong together in principle”. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat fundamental.
Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu politik, psikologi, sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter yang esensial dalam semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan hubungan sosial di antara manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar makna-makna yang disepakati bersama. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial.
Pertama, gejala yang dihadapi oleh ilmuwan sosial tidak sama dengan gejala yang dihadapi oleh ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah. Objek telaahnya berbeda, yaitu ilmu-ilmu alamiah berkaitan dengan materi sedangkan ilmu-ilmu sosial mengenai manusia. Materi bereaksi terhadap rangsangan. Materi tidak memahami perilakunya sendiri dan tidak mempunyai keinginan subjektif. Materi tidak mempunyai makna sampai ilmuwan menjadikannya sesuatu untuk diperhatikan. Untuk memahami logika perilaku materi, seseorang harus mengamatinya. Sebaliknya, perilaku masyarakat mempunyai makna bagi masyarakat itu. Masyarakat menetapkan situasi mereka dan bertindak dengan cara-cara tertentu dalam mencapai tujuannya. Dalam melakukan hal itu mereka membangun suatu dunia sosial. Kehidupan sosial mempunyai kehidupan internal yang harus dipahami oleh ilmuwan sosial. Sebaliknya, ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah dapat menetapkan logika eksternal terhadap data yang ia peroleh. Pemahaman mengenai maksud subjektif manusia memerlukan pemahaman interpretatif dari teoretisi yang mengalami makna subjektif tersebut.
Kedua, ilmuwan sosial tidak dapat mengalami pengalaman orang lain. Pengalaman pribadinya membuatnya memberi warna terhadap apa yang terjadi. Suatu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah persepsi Clifford Geerzt tentang dikhotomi masyarakat Jawa menjadi kaum santri dan abangan. Perspektif semacam ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya di tempat ia dibesarkan. Sama halnya bukan orang Jawa yang suka melihat wayang tanpa mengerti makna wayang lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa suka perang.
Didirikannya Law and Society Association dan jurnalnya Law & Society Review tahun 1960-an telah menyulut studi-studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Sejak itu literatur-literatur mengenai hukum dan masyarakat berkembang dengan pesat. Objek-objek penelitian acap kali diarahkan pada topik-topik dampak hukum terhadap masyarakat tertentu, kepatuhan hukum masayarakat tertentu terhadap suatu aturan hukum tertentu, efektivitas aturan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, dan hukum dan perubahan sosial. Hal ini telah mengubah pendekatan dari pendekatan tradisional yang berbicara mengenai doktrin-doktrin hukum ke arah pendekatan perilaku dengan cara menyoroti putusan-putusan pengadilan terbaru dalam rangka menjawab masalah-masalah dampak hukum terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Masalah pokok dalam penelitian semacam itu adalah menyelidiki lubang antara yang digagas oleh hukum dan apa yang terjadi di alam empiris. Hal ini berarti menjadikan studi hukum menjadi studi sosial. Menurut para pengikut pandangan itu, tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah hukum itu sendiri secara lebih mendalam. Dalam melaksanakan hal itu, tentu saja perlu dilakukan verifikasi empiris.
Konsekuensinya, penelitian perlu diadakan untuk menyelesaikan masalah itu. Kecenderungan semacam itu amat dipengaruhi oleh ilmuwan sosial yang melakukan studi hukum dari perspektif mereka senditi. Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya prosedur standar untuk melakukan studi hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Dalam pengembangan ilmu hukum, sudah barang tentu juga harus mengikuti metode yang digunakan oleh ilmu sosial, yaitu melalui penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosial. Oleh karena itu secara keliru setiap penelitian hukum dimulai dengan hipotesis sebagaimana layaknya penelitian sosial.
Dalam hal demikian, penelitian hukum dimaksudkan tidak lebih untuk memperoleh kebenaran empiris atau lebih tepat dikatakan sebagai keniscayaan. Inti dari penelitian semacam ini adalah untuk menguji sejauh mana teori hukum dapat diterapkan dalam suatu masyarakat dan apakah aturan-aturan hukum tertentu dipatuhi oleh anggotaanggota masyarakat. Apabila pengembangan ilmu hukum dilakukan dengan melakukan penelitian semacam ini, tidak dapat dielakkan bahwa ilmu hukum telah dibawa untuk menjadi studi perilaku yang hal ini bertentangan dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri.
Di samping itu meskipun para sarjana yang melakukan studi-studi semacam itu tidak secara terbuka menyatakan dalam menetapkan konsep hukum yang ia gunakan untuk bekerja, tidak dapat dibantah bahwa mereka berpegang kepada konsep Austinian. John Austin memandang hukum semata-mata sebagai perintah penguasa. Oleh karena itulah hukum dipandang sebagai perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang didukung oleh paksaan fisik yang akan dijatuhkan kepada siapa yang tidak menaati ketentuan itu. Pandangan itu tidak dapat menerangkan ketentuan yang tidak bersifat perintah atau larangan, seperti misalnya ketentuan mengenai usia cukup umur. Sebenarnya, sanksi bukan merupakan unsur yang esensial dalam hukum. Sanksi merupakan unsur tambahan. Ada beberapa hukum yang tidak dilekati dengan sanksi. Ketentuan mengenai usia cukup umur yang elah dikemukakan adalah suatu contoh ketentuan yang tidak dilekati sanksi.
Unsur yang esensial dalam hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap aturan hukum itu sehingga aturan itu mempunyai kekuatan mengikat. Konsep hukum sebagai suatu perintah yang didukung oleh paksaan fisik merupakan konsep yang sangat diwarnai oleh hukum pidana. Konsep semacam itu dengan sendirinya mengabaikan bidang-bidang hukum lainnya. Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa pendekatan sosial terhadap hukum yang berpangkal pada pandangan Austinian sejak semula sudah keliru.
Pernyataan dalah suatu ilmu deskriptif adalah mengenai apa yang terjadi. Pernyataan itu juga merupakan pernyataan tentang fakta. Baik ilmu-ilmu alamiah maupun ilmuilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati secara empiris. Apa yang ingin dicapai oleh ilmu-ilmu deskriptif adalah keniscayaan (truth). Konsekuensinya, sistem nilai, yaitu sesuatu yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should atau ought) dan gagasan yang bersifat preskriptif tidak masuk bilangan ilmu sosial maupun ilmu alamiah.
Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa istilah the science of law atau legal science tidak tepat. Secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu :
1.        Kata “law” diartikan sebagai serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan. Dalam bahasa Latin disebut ius, bahasa Perancis droit, bahasa Belanda recht, dan dalam bahasa Jerman Recht.
2.        Kata “law” merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat. Dalam bahasa Latin disebut lex, dalam bahasa Perancis loi, dalam bahasa Belanda wet, dan dalam bahasa Jerman Gesetz.
Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal science.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence dan bukan the science of law atau legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum.
Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum. Sudah barang tentu hal ini tidak bersangkut paut dengan gejala yang dapat diamati secara empiris.
Mengingat science diidentifikasi sebagai studi empiris, Jan Gijssels and Mark van Hoecke menghindari menerjemahkan kata bahasa Belanda Rechtswetenschap menjadi legal science. Ia secara tepat menganjurkan Rechtswetenschap menjadi jurisprudence. Dalam hal ini jurisprudence didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum. Validitas aturan hukum, keadilan, prosedur standar penerapan hukum dan masalah-masalah internal hukum merupakan bagian yang esensial dari jurisprudence.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa titik anjak dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum. Hal inilah yang membedakan antara ilmu hukum dengan disiplin-disiplin lain yang objek kajiannya juga hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum memandang hukum sebagai gejala sosial. Dengan melihat kondisi intrinsik aturan hukum, ilmu hukum mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoretis serta landasan pemikiran yang mendasarinya. Landasan pemikiran itu berkaitan dengan berbagai macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian. Tugas ilmu hukum dalam hal ini jurisprudence adalah menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.

BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai Jurisprudence dan bukannya the science of law atau legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum.
Hal tersebut dikarenakan, secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan dan merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat.
Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah  legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal science.
Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum.


 

Kiwilicious.com | Copyright © 2012 | Powered by Blogger | Blog Designed By Yogen Basnet