ANALISA KASUS PIDANA PERJUDIAN ONLINE (GAMBLING)
DENGAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Teknologi Informasi
Disusun Oleh :
DANI MASHUDI / A.131.11.0038
RIZA NURUL LATIFAH / A.141.11.0006
RINI NOFITASARI / A.141.11.0008
WIWIT WIDYA W. / A.141.11.0009
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SEMARANG
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Landasan Teori
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sangat pesat di bidang telekomunikasi, informasi dan komputer telah
menghasilkan konvergensi dalam aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula
konvergensi dalam peri kehidupan manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan
perdagangan. Perubahan yang terjadi mencakup baik dari sisi lingkup jasanya,
pelakunya, maupun konsumennya. Dalam perkembangan selanjutnya melahirkan
paradigma, tatanan sosial serta sistem nilai.
Seiring dengan perkembangan masyarakat
dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi
digital, termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Oleh karena itu, semakin
lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian, untuk
menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu. Sebagai contoh, untuk
mengatur sejauh mana ekuatan pembuktian dari suatu dokumen elektronik dan tanda
tangan digital / elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak dipergunakan
dalam praktik sehari-hari.
Transaksi elektronik yang sering disebut sebagai “online
contract” sebenarnya
ialah transaksi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan
komputer (computer-based information system) dengan sistem
komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication-based),
yang selanjutnya difasilitasi oleh
keberadaan jaringan komputer global internet.
Berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), terciptalah suatu bidang kajian
baru dalam hukum menyangkut dunia maya (law in cyberspace). Kehadiran bidang
baru ini membawa dampak perubahan bagi hukum di dalam hal kriminalisasi
perbuatan-perbuatan yang ada di dunia siber.
Terdapat karakteristik-karakteristik teknologi informasi
yang harus mendapat pengkajian hukum lebih lanjut. Salah satunya, tentang alat
bukti elektronik. Dengan tegas UU ITE memberikan pernyataan bahwa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku diIndonesia (Pasal
5 ayat (1) UU ITE).
Tetapi, tidak sembarang
informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik dinyatakan sah
untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal
dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1. Dapat menampilkan
kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai
dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dapat melindungi
ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi
elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
3. Dapat beroperasi
sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut.
4. Dilengkapi dengan
prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol
yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut.
5. Memiliki mekanisme
yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban
prosedur atau petunjuk.
Pihak yang mengajukan
informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan
upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat
melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan
informasi elektronik tersebut.
Bagaimanapun juga UU
ITE harus bisa menjelaskan bagaimana membuktikan suatu sistem elektronik
memenuhi syarat yg diatur dalam UU ITE, agar alat bukti berupa
informasi/dokumen elektronik tidak dipertanyakan lagi keabsahannya.
1.1.1 Alat-alat Bukti (Menurut
KUHAP)
Di dalam hukum acara pembuktian perkara pidana kedudukan
alat bukti begitu penting mengingat alat bukti ini yang menjadi dasar
pertimbangan hakim pidana untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya
(pasal 183 KUHAP).
Hukum acara pidana mengenal 5 macam alat bukti yang sah
yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat,
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
1.1.2
Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti
Elektronik
Alat Bukti Elektronik ialah Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan
persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE. Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur
bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
Yang dimaksud dengan Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic
data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE).
Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen
Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
(Pasal 1 butir 4 UU ITE).
Pada prinsipnya Informasi Elektronik
dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik.
Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk,
sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi
Elektronik.
Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak
dari Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut
yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil
cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti
surat.
Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara
yang berlaku di Indonesia. Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus
dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE.
Perluasan di sini maksudnya :
- Menambah
alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya
KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti
Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;
- Memperluas cakupan dari
alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya
dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat
bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Perluasan alat bukti yang diatur
dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara
tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan
Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh
hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta
hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
Supaya Informasi dan Dokumen
Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah maka syarat formil dan syarat
materil yang harus terpenuhi sesuai pengaturan dalam UU ITE.
Syarat
formil
diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen
Elektronik bukanlah dokumen atau
surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6,
Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen
Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya.
Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal
dibutuhkan digital forensik.
1.1.3
Pengertian Barang Bukti
Barang bukti adalah barang atau benda yang berhubungan
dengan kejahatan.
Barang bukti dengan alat bukti
mempunyai hubungan yang erat dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan.
Dalam
persidangan setelah semua alat bukti diperiksa,
selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Barang bukti
dalam proses pembuktian biasanya diperoleh melalui penyitaan. Barang bukti mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian,
walaupun barang bukti yang disita oleh
petugas penyidik tersebut secara yuridis formal bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi,
dalam praktik peradilan, barang bukti
tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai
tambahan dari alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli (visum et repertum), maupun
keterangan terdakwa.
BAB
II
KASUS
POSISI
Jumat, 12 April 2013 16:45
Aceh - Aparat Polres Lhokseumawe
meringkus dua tersangka kasus judi online di sebuah warung internet (warnet),
Jalan Listrik, Lhokseumawe, Senin malam, 8 April 2013.
“Keduanya tertangkap tangan sedang main judi online,” ujar Kepala Satuan
Reserse Kriminal AKP Supriadi didampingi Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu
(Tipiter) Bripda Edi Saputra kepada ATJEHPOST.com, Jumat, 12 April 2013.
Menurut
Supriadi, penangkapan tersebut bermula saat anggotanya mencurigai salah seorang
warga yang sedang melakukan transaksi di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) salah
satu bank. Petugas kemudian membuntuti orang tersebut yang masuk ke warnet di
Jalan Listrik, Lhokseumawe.
“Begitu
masuk warnet, dia duduk dalam bilik nomor 18 dan membuka situs judi Jaya Poker,
lalu petugas langsung menciduknya. Satu orang lagi ditangkap dalam bilik nomor
7 di warnet yang sama, dia juga sedang main judi online dengan situs MBO
Poker,” kata Supriadi.
Dua
tersangka kasus judi online itu, kata Supriadi, berinisial MI, 18 tahun warga
Kandang, Muara Dua, dan KS, 48 tahun, warga Banda Sakti, Lhokseumawe.
“Dari
tangan tersangka MI, kita sita satu unit CPU dan satu monitor komputer yang
sedang dia gunakan dan satu kartu ATM miliknya. Dari KS juga kita sita satu CPU
plus monitor yang sedang dia gunakan, dua paspor, kartu ATM,” ujarnya.
Selain itu, kata Supriadi, polisi juga menyita satu CPU dan monitor komputer
18,5 inci, dua modem speedy dan tiga unit hub yang digunakan operator warnet
tersebut.
“Tersangka
MI dan KS dikenakan pasal 303 KUHPidnana, juncto pasal 45, juncto pasal 27
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE),” katanya.
Supriadi
menambahkan, pihaknya terus mengembangkan penyelidikan kasus judi online
tersebut setelah memeriksa beberapa saksi.
.
BAB
III
ANALISA
KASUS
Keberadaan alat bukti sangat penting
terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Dari
alat-alat bukti yang sah, seorang hakim dapat memperoleh keyakinan, bahwa suatu
tindak pidana benar-benar telah terjadi.
Adanya alat bukti yang sah sangat
penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan dirinya membuat putusan atas suatu
perkara. Alat bukti ini harus sah (wettige bewijsmiddelen). Hanya
terbatas pada alat-alat bukti sebagaimana di sebut dalam Undang-undang (KUHAP
atau Undang-undang lain). UU ITE melalui pasal 5 ayat (1) dan (2) ternyata
memberikan 3 buah alat bukti baru yaitu; Informasi elektronik, dokumen
elektronik dan hasil cetak dari keduanya. Email dan bukti transfer termasuk
sebagai alat bukti yang diakui dalam UU ITE, yakni sebagai salah satu bentuk
dari dokumen elektornik.
Pada dasarnya pembuktian dalam ranah pidana merupakan usaha
untuk mencari kebenaran materil tentang: (1) telah terjadinya tindak pidana dan
(2) bahwa tersangka (yang kemudian menjadi terdakwa) adalah pelakunya. Kedua
hal ini dibuktikan dengan alat-alat bukti serta dikuatkan dengan keyakinan
hakim melalui satu proses peradilan pidana.
Untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana, Aparat
Penegak Hukum (APH) harus membuktikan bahwa tersangka terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur pidana yang disangkakan atau didakwakan. Pembuktian bahwa
unsur-unsur pidana telah terpenuhi juga harus berdasarkan alat-alat bukti yang
telah diatur dalam undang-undang serta keyakinan hakim.
Setiap
orang sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat
dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.
Ancaman pidana dari pasal tersebut yakni pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [1] UU ITE).
3.1 Unsur-unsur dan alat bukti
Jika
ada seseorang disangka atau didakwa telah melakukan perjudian dalam ruang cyber
maka APH harus membuktikan bahwa orang tersebut telah memenuhi seluruh unsur
yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE, yaitu:
a.
Adanya kesengajaan
dan tidak adanya hak.
b. Adanya perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau
Dokumen Elektronik.
c. Terkandung muatan perjudian – dengan menggunakan alat-alat bukti yang diatur
dalam perundang-undangan.
Berikut disampaikan hubungan antara
pemenuhan unsur-unsur dan alat bukti :
Sengaja, secara sederhana, artinya
tahu dan menghendaki dilakukannya perbuatan pidana atau tahu dan menghendaki
timbulnya akibat yang dilarang oleh undang-undang. Untuk mengetahui kesengajaan
tersebut, APH dapat melihat berapa kali pelaku mengakses website
perjudian, berapa kali ia mentransfer uang ke rekening yang disebutkan dalam website
perjudian, dan sebagainya (aspek kuantitas).
Untuk menentukan berapa kali pelaku
mengakses website perjudian, APH dapat menyita laptop atau komputer yang
ia gunakan. Setelah itu, Penyidik dapat melakukan prosedur imaging/kloning
data dalam forensik digital terhadap sistem elektronik pelaku misalkan
laptop atau komputer yang dimaksud untuk mencari informasi mengenai rekaman
aktivitas (log) pelaku. Hasil imaging tersebut dapat dijadikan
alat bukti berdasarkan Pasal 5 jo.
Pasal 44 UU ITE. Hasil imaging sistem elektronik pelaku, misalnya
menunjukkan pelaku telah mengakses sebanyak 56 kali website perjudian.
Langkah berikutnya, APH juga dapat
menyita server pengelola judi. Penyidik dapat melakukan forensik digital
untuk mencari informasi yang membuktikan bahwa pelaku telah mengakses situs
tersebut. Hasil imaging terhadap server juga dapat dijadikan alat
bukti berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 44 UU ITE sebagaimana telah kami sebutkan
di atas. Dari hasil imaging kedua ini, misalkan, ditemukan bahwa pelaku
telah berhasil mengakses situs judi sebanyak 56 kali. Dengan demikian hasil imaging
terhadap sistem elektronik milik pelaku dan pengelola judi adalah sama.
Kesamaan inilah yang dapat dijadikan petunjuk penyidik bahwa salah satu unsur
tindak pidana telah terpenuhi.
Unsur kesengajaan juga dapat
ditemukan dalam hal sebuah website perjudian mengharuskan pemain judi
mengunduh dan meng-install aplikasi perjudian. Apabila penyidik
menemukan bahwa seseorang telah mengunduh sebuah aplikasi perjudian dalam
laptop atau komputer miliknya, maka penyidik dapat juga menyimpulkan atau
mendapatkan petunjuk bahwa unsur kesengajaan telah terpenuhi.
Jika untuk dapat bermain judi pelaku
harus mentransfer sejumlah uang yang kemudian dikonversi menjadi koin, dan
penyidik dapat menemukan bukti transfer dari pelaku kepada rekening yang
digunakan untuk bermain judi. Kemudian penyidik dari hasil imaging server
pengelola judi, juga dapat membuktikan adanya bukti transfer dari pelaku dan
ada bukti hasil konversi nilai uang menjadi koin judi milik pelaku, maka
petunjuk tersebut dapat dijadikan alat bukti, demikian pula hasil imaging-nya.
Misalkan dalam penyidikan, penyidik
juga menemukan adanya saksi-saksi yang melihat pelaku mengakses dan bermain
judi di warung internet (warnet). Maka, keterangan saksi mereka dapat
dijadikan alat bukti.
Jika dari penyidikan tersebut
ditemukan fakta-fakta bahwa misalkan:
- Pelaku telah
mengakses website perjudian sebanyak 56 kali sebagaimana dibuktikan dari
hasil imaging laptop dan server.
- Pelaku telah
menunduh dan meng-install aplikasi permainan judi sebagaimana dibuktikan
dari hasil imaging laptop pelaku.
- Pelaku telah
mentransfer sejumlah uang berkali-kali sebagaimana dibuktikan dari bukti
transfer dan pengelola telah memproses uang yang ditransfer pelaku dengan
mengkonversinya dengan koin judi sebagaimana dibuktikan dengan hasil imaging
server pengelola judi.
- Saksi-saksi
melihat bahwa pelaku mengakses website perjudian dan bermain judi.
Maka penyidik dapat menyimpulkan
bahwa memang pelaku telah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan,
mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan perjudian.
3.2 Aspek Pembuktian
Pasal 5 UU
ITE mengatur
bahwa informasi atau dokumen elektronik, atau hasil cetaknya (yaitu hasil cetak
dari informasi dan dokumen elektronik) dapat dijadikan alat bukti hukum yang
sah. Informasi elektronik atau dokumen elektronik, atau hasil cetaknya
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Informasi elektronik, dokumen elektronik, dan hasil
cetaknya dapat dijadikan alat bukti sepanjang dapat dijaga, antara lain,
keutuhan dan ketersediaan dari informasi atau dokumen elektronik tersebut.
Dengan demikian dari contoh kasus
yang diuraikan pada bab 2, dapat disimpulkan bahwa:
- Bukti transfer dapat dijadikan alat
bukti yang sah karena bukti transfer merupakan hasil cetak dari informasi atau
dokumen elektronik;
- E-mail dapat dijadikan alat bukti
yang sah karena e-mail merupakan dokumen elektronik.
-
Pelaku telah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan,
mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan perjudian