UPAYA BANK DALAM MENJAGA
RAHASIA BANK SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perbankan
Yang Diampu Oleh Dharu Triasih,
S.H., M.H.
Disusun oleh :
WIWIT WIDYA WIRAWATI A.141.11.0009
UNIVERSITAS SEMARANG
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
2013
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran
suatu negara. Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi
bagian dari system keuangan dan sistem pembayaran dunia. Mengingat hal yang
demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan
beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan, bank tersebut
menjadi "milik" masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan saja
hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi
juga oleh masyarakat nasional dan global. Kepentingan masyarakat untuk menjaga
eksistensi suatu bank menjadi sangat penting, lebih-lebih bila diingat bahwa
ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu
menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat
sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan system pembayaran dari negara yang
bersangkutan.
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung
mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan
mereka pada bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar kadar
kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan dananya,
terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian
dari sistem keuangan dan system pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan
atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat
kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka
terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan
masyarakat banyak.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah:
Integritas pengurus
Pengetahuan dan Kemampuan
pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial maupun pengetahuan
dan kemampuan teknis perbankan.
Kesehatan bank yang
bersangkutan .
Kepatuhan bank terhadap
kewajiban rahasia bank.
Sebagaimana dikemukakan di
atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar
kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada
umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya adalah
menyangkut "dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan
dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah identitas
nasabah tersebut kepada pihak lain". Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan
bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh "rahasia
bank".
Rahasia bank akan dapat
lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai
kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai
kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka,
maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara
mudah dapat disimpangi.
Hal itulah yang telah
melandasi ditetapkannya ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang
No. 10 tahun 1998 sebagai tindak pidana bagi pelanggarannya. Pasal-pasal yang mengatur
rahasia bank dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ialah Pasal 40, 41, 41A, 42,
42A, 43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52 dan 53.
I.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang
diajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
hubungan hukum antara bank dengan nasabah ?
2. Faktor-
faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran rahasia bank?
3. Bagaimanakah
sebuah Bank menjaga keamanan rahasia bank dalam upaya memberi
perlindungan hukum bagi nasabahnya?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ketentuan mengenai rahasia bank
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah
penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri,
sebab apabila nasabah penyimpan ini tidak mempercayai bank dimana ia menyimpan
simpananya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Oleh karena itu,
sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya bank menerapkan ketentuan rahasia
bank tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi kepentingan nasabahnya.
Di Indonesia
pun dikenal ketentuan rahasia bank yang terdapat dalam undang-undang
perbankan. Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia adalah Undang-Undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi kemudian diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 jo
Undang- Undang No.10 Tahun 1998 Perbankan
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Menurut Pasal 1 Angka 2 UU Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Menurut Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan
wajib dirahasiakan. Menurut Pasal 1 Angka 28 Undang-Undang No.10 Tahun 1998
Rahasia bank
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan
dan simpananya
Jadi Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998
mempertegas dan mempersempit pengertian rahasia bank dibandingkan dengan
ketentuan dalam pasal-pasal dari undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
No.7 Tahun 1992, yang tidak
khusus menunjukkan rahasia bank kepada nasabah deposan saja.
Ketentuan rahasia bank diperlukan karena
perbankan harus melindungi nasabahnya. Bank
yang membocorkan informasi yang dikategoriakan rahasia bank layak dikenakan
sanksi berat. Meskipun demikian ketentuan itu tidaklah bisa kaku serta ketat
tanpa kekecualian. Ketentuan itu dapat dikesampingkan saat kepentingan umum
(masyarakat) tampak bakal dirugikan oleh oknum tertentu. Di sinilah terlihat
bahwa kepentingan masyarakat menjadi prioritas utama karena kepentingan
masyarakat harus dilindungi yaitu perbankan bukanlah lembaga yang bisa dijadikan
tempat untuk penyalahgunaan kewenangan atau tempat kerja sama mereka yang
melanggar hukum dalam menjalankan kegiatan mengambil dana dari masyarakat melalui
hal yang tidak wajar.
Ada dua teori tentang kekuatan
berlakunya asas rahasia bank ini, yaitu :
1.
Teori Mutlak
Menurut teori ini bank
mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan – keterangan
mengenai nasabahnya yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan
apapun juga, dalam keadaan biasa atau dalam keadaan luar biasa. Teori ini
sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan
masyarakat sering terabaikan. Dewasa ini hampir tidak ada lagi negara yang
menganut teori mutlak ini. Bahkan negara-negara yang menganut perlindungan
nasabah secara ketat seperti Swiss atau negara-negara tax heaven seperti
kepulauan Bahama atau Cayman Island juga membenarkan rahasia bank dalam hal- hal
khusus.
2.
Teori Relatif
Menurut teori ini rahasia
bank tetap diikuti tetapi dalam hal-hal khusus, yakni dalam hal yang termaksud luar biasa
prinsip rahasia bank tersebut dapat
diterobos. Misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan umum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank
di banyak negara di dunia, termaksud
Indonesia. Adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu
badan atau instansi diperbolehkan
meminta keterangan atau data tentang keadaaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Salah satu masalah yang sering
dikeluhkan terus menerus adalah tidak adanya atau kurangnya perlindungan
terhadap nasabah jika berhubungan dengan bank, baik nasabah
debitur, nasabah deposan maupun nasabah
non debitur - non deposan. Banyak kasus – kasus bank yang pernah terjadi
menunjukkan bahwa kedudukan para nasabah bank tidak dilindungi oleh hukum dan
bahkan tidak banyak mendapat
sorotan dari masyarakat.
Salah satu cara untuk memberikan
perlindungan kepada nasabah adalah dengan melaksanakan
peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas
moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga
dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan itu harus ditegakkan
secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris atau pemegang saham
dari bank yang bersangkutan. Lewat pembuatan peraturan baru dibidang perbankan
atau merevisi yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberi
perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan yang secara langsung
maupun tidak langsung memberi perlindungan kepada nasabah.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK
DENGAN NASABAH
Apabila diperhatikan secara
seksama Undang-Undang No.10 Tahun 1998, tidak ditemui ketentuan yang mengatur
secara tegas perihal hubungan hukum antara bank dengan
nasabah. Namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan , bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah diatur oleh suatu perjanjian. Hal ini
dapat disimpulkan dari Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No.10 Tahun 1998,
simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat
deposito, tabungan, dan atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Jadi simpanan masyarakat di bank dapat berupa
:
a) Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan
cek, billyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan
pemindah bukuan (Pasal 1 Angka 6)
b) Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu, berdasarkan perjanjian nasabah panyimpan
dengan nasabah (Pasal 1 Angka 7).
c) Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang
sertifikat bukti penyimpannya dapat dipindahtangankan (Pasal 1 Angka 8)
d) Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tetentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik
kembali dengan cek, bilyet giro dan alat lainnya yang dapat dipersamakan dengan
itu ( Pasal 1 Angka 9).
e) Penitipan adalah penyimpan harta berdasarkan perjanjian atau
kontrak antara Bank Umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank umum yang
bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut (Pasal 1 Angka
14).
Dari ketentuan diatas terlihat bahwa hubungan hukum antara bank
dengan nasabah diatur oleh hukum
perjanjian. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan
suatu hal. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya.
Hubungan kontraktual bank dengan nasabah yang ternyata mempunyai dasar yang dapat
dikaitkan pada beberapa ketentuan, sesuai dengan perikatan yang dilakukan
antara mereka. Dalam kepentingan perlindungan konsumen perlu dijelaskan
tanggungjawab hukum yang dipikul oleh kedua belah pihak. Dengan demikian harus
terbentuk rasa saling mempercayai, sehingga akan terwujud suatu praktek
perbankan yang sehat.
Nasabah dalam hubungan
dengan bank, mengharapkan tidak adanya pembedaan perlakuan, dengan kata lain
harus terbentuk perlakuan yang sama. Tetapi saat ini kenyataan yang ada
menampakkan bahwa masih menonjol adanya kesan ada suatu pembedaan perlakuan
kepada nasabah. Perlakuan kepada nasabah
besar tampak berbeda dengan perlakuan kepada nasbah kecil, contoh nyata
terlihat dalam pelayanan kredit yang menyangkut agunan, model penagihan kredit
macet dan sebagainya. Adanya hal seperti itu harus diubah sehingga perlakuan
kepada nasabah haruslah sama. Dengan
perlakuan yang sama akan dirasakan oleh nasabah
bahwa adanya rasa kekeluargaan, adanya keamanan terhadap uang atau
barang berharga yang disimpan untuk dikelola oleh bank, juga kerahasiaan atas
semua data serta informasi yang diketahui dari nasabah tersebut.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan nasabah dibedakan menjadi dua macam, yaitu
nasabah penyimpan dan nasabah debitur.
Nasabah penyimpan adalah
nasabah yang menempatkan dananya di bank
dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah
yang bersangkutan.
Dalam praktik perbankan nasabah
dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Nasabah deposan, yaitu
nasabah yang menyimpan dananya pada
suatu bank, misalnya dalam bentuk giro,
tabungan, dan deposito.
2. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan
sebagainya.
3. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank
(walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli
dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit
(L/C).
III.1.1
Hubungan Hukum Dengan Nasabah Dalam Pemberian Kredit
Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan disebut sebagai nasabah debitur.
Bagaimana status kerahasian keterangan mengenai nasabah debitur. Apakah
secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa karena Pasal 40 Undang-Undang
No.10 Tahun 1998 hanya mewajibkan bank dan pihak terafiliasi menjaga
kerahasiaan nasabah penyimpan dan simpanannya, dan ditegaskan dalam
penjelasannya bahwa keterangan mengenai nasabah
selain dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan bukan keterangan yang wajib
dirahasiakan.
Bila diperhatikan pengaturan mengenai rahasia
bank di berbagai negara, maka terdapat penggolongan pengaturan sebagai berikut:
a) Yang memasukkan rahasia bank sebagai
ketentuan pidana, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban publik, sebagaimana
banyak dianut oleh negara yang menggunakan sistem hukum kodifikasi.
b) Yang memasukkan rahasia
bank sebagai ketentuan perdata, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban yang
timbul dari hubungan kontraktual, sebagaimana banyak dianut oleh sebagian besar
negara yang menggunakan sistem Common Law.
c) Yang memasukkan sebagian
pengaturan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, namun di sebagian lain
sebagai ketentuan perdata (kombinasi/campuran), sebagaimana dianut oleh negara
Amerika Serikat.
Menurut penggolongan tersebut, Undang-Undang No.7 Tahun 1992 dapat
digolongkan yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana. Dibandingkan
dengan ketentuan Undang-Undang No.7 Tahun 1992, dalam Undang-Undang No.10 Tahun
1998 sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) jo. Pasal 47
Undang-Undang No.10 Tahun 1998, hanya memasukkan kewajiban menjaga keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Sedangkan keterangan
mengenai nasabah debitur, secara
letterlijk dikecualikan sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Hal ini bisa
dilihat dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) paragraf ke-2 Undang-Undang No.10
Tahun 1998.
Ketentuan ini berbeda dengan obyek rahasia bank sebagaimana diatur
dalam Pasal 40 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang tidak membedakan apakah
nasabah tersebut sebagai nasabah penyimpan atau nasabah debitur. Segala keterangan yang tercatat pada
bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah merupakan rahasia bank.
1)
Hubungan antara bank dengan
nasabah debitur merupakan fiduciary
relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan
hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan).
2)
Hubungan hukum antara bank
dengan nasabah debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara bank
dengan nasabah debitur.
3)
Adanya kemungkinan bank
digugat melakukan perbuatan melanggar hukum oleh nasabah debitur, bilamana dengan pengungkapan
keterangan mengenai nasabah debitur
dipandang oleh nasabah debitur merugikan
dirinya.
Dari dasar-dasar dan alasan sebagaimana dibahas di muka, maka
keterangan mengenai nasabah debitur juga
merupakan keterangan yang harus dirahasiakan, dimana kewajibannya timbul dari
hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah
debitur. Dengan demikian karena sifat kerahasiaan keterangan mengenai
nasabah debitur lahir dari perjanjian (implied term), Pasal 1339
KUHPerdata), pengungkapannya haruslah memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu
pula yang disepakati antara nasabah
debitur dan bank.
Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai
nasabah debitur merupakan keterangan
yang wajib dirahasiakan adalah tidak adanya ketentuan Undang-Undang No.10 Tahun
1998 yang secara tegas mewajibkan bank untuk memberikan keterangan mengenai
nasabah debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun. Dengan demikian
keterangan mengenai nasabah debitur
bukanlah keterangan yang terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun,
sehingga terdapat syarat dan kondisi yang membatasi bank untuk memberikan
keterangan mengenai nasabah debitur dan
pinjamannya.
Dari putusan Tournier’s Case dapat diklasifikasikan bahwa Bank
berhak untuk mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi
salah satu dari empat syarat/kondisi sebagai berikut:
1. Bilamana pengungkapan tersebut
diharuskan oleh hukum
2. Bilamana bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat/publik.
3. Bilamana pengungkapan dikehendaki
demi kepentingan bank.
4. Bilamana nasabah memberikan persetujuannya
III.1.2
Hubungan Hukum Dengan Nasabah Dalam Penyimpanan Dana
Nasabah yang
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan disebut
nasabah penyimpan. Dalam Pasal 40 Undang-Undang No.10 Tahun 1998
menyatakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya, dan ditegaskan dalam penjelasannya bahwa apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan
keterangan tentang nasabah dalam
kedudukannya sebagai nasabah penyimpan, keterangan mengenai nasabah selain dalam kedudukannya sebagai nasabah
penyimpan bukan keterangan yang wajib dirahasiakan.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank berdasarkan atas
suatu perjanjian atau hubungan kontraktual. Untuk itu
tentu adalah sesuatu yang wajar apabila
kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum,
sebagai mana perlindungan yang diberikan hukum kepada bank. Tidak dapat disangkal bahwa memang telah ada Political
will dari pemerintah untuk melindungi
kepentingan nasabah bank, terutama nasabah
penyimpan uang. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain yang diatur dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa
dalam sistem Perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2
(dua) cara, yaitu :
a. Perlindungan secara implicit (Implicit Deposit protection),
yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang
efektif, yang dapat menghindari terjadinya kebangkutan bank. Perlindungan ini
yang diperoleh melalui :
1. Peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan
2. Perlindungan
yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh
bank Indonesia
3. Upaya
menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan
perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya
4. Memelihara
tingkat kesehatan bank
5. Melakukan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
6. Cara
pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah
7. Menyediakan informasi risiko pada bank.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection)
yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat, lembaga tesebut yang akan menggantikan dana masyarakat yang
disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui
pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 198 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank
Umum. Ini berarti, para pihak, dalam hal ini
bank sebagai suatu badan usaha dan nasabah
baik perorangan maupun badan usaha mempunyai hak dan kewajiban. Bank
mempunyai kewajiban untuk :
1. Menjamin
kereahasiaan identitas nasabah beserta
dengan dana yang disimpan pada bank, kecuali kalau peraturan perundang-undangan
menentukan lain.
2. Menyerahkan
dana kepada nasabah sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
3. Membayar
bunga simpanan sesuai dengan perjanjian.
4. Mengganti
kedudukan debitor dalam hal nasabah tidak mampu melaksanakan kewajibannya
kepada pihak ketiga.
5. Melakukan
pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C sepanjang
persyaratan untuk itu telah dipenuhi.
6. Memberikan
laporan kepada nasabah terhadap
perkembangan simpanan dananya di bank.
7. Mengembalikan
anggunan dalam hal kredit telah lunas.
Sebaliknya bank berhak untuk :
1. Mendapatkan
provisi terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah .
2. Menolak
pembayaran apabila tidak memenuhi syarat yang telah disepakati bersama.
3. Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang
diberikan kepadanya sesuai dengan akad kredit yang
telah ditandatangani kedua belah pihak.
4. Pemutusan
rekening nasabah
5. Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku
tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening.
Kewajiban nasabah yaitu :
1. Mengisi
dan menandatangani formulir yang disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan
jasa yang diinginkan oleh calon nasabah .
2. Melengkapi
persyaratan yang telah ditentukan bank.
3.
Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank. Dalam
hal ini, dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa
yang diinginkan.
4. Membayar
provisi yang ditentukan oleh bank
5. Menyerahkan
buku cek/giro bilyet tabungan.
Sebaliknya nasabah berhak
untuk :
1. Mendapatkan
layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas kartu ATM.
2. Mendapatkan
laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank.
3. Menuntut
bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia bank.
4. Mendapatkan
agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas.
5. Mendapatkan
sisa uang pelelangan dalam hal agunan dijual untuk melunasi kredit yang tidak
dibayar.
III.I.3 Mekanisme
Perlindungan Terhadap Nasabah
A. Perlindungan
Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen Ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan
di Bidang Perbankan.
Karena bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan
usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat, maka dalam melaksanakan aktivitasnya
bank harus melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan bank, yaitu prinsip
kepercayaan (fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential
principle), prinsip kerahasiaan (confidential lprinciple), dan
prinsip mengenal nasabah (Know your costomer principle).
Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank
harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat
rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat
aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang terdapat pengaturan dalam
rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus
dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah yaitu
:
a. Untuk memberikan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah deposan
sebagaima tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan
dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk
menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam
bentuk nama yang bersangkutan.
b. Perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang
perbankan, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal
ini telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan.
Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan
nasabah bank adalah sebagai berikut :
1) Pembuatan
peraturan baru :
Lewat pembuatan peraturan baru atau merevisi peraturan yang sudah
ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah
suatu bank. Banyak peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung yang
bertujuan melindungi nasabah.
2) Pelaksanaan
peraturan yang ada
Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan kepada nasabah
adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat
oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi
nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik.
3) Perlindungan
nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito.
Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga
asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata dapat juga membawa hasil
yang positif.
4) Memperketat
perizinan bank
Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah
salah satu cara agar bank tersebut kuat dan kualified sehingga dapat memberikan
keamanan bagi nasabahnya.
5) Memperketat
pengaturan di bidang kegiatan bank.
Ketentuan-ketentuan yang menyangkut dengan kegiatan bank banyak
juga bertujuan secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk melindungi
pihak nasabah.
6) Memperketat
pengawasan bank.
7) Dalam
rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis maka pihak otoritas, harus
melakukan tindakan pengawasan pembinaan terhadap bank-bank yang ada baik
terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta.
B. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank
Selaku Konsumen Ditinjau dari UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan satu-satunya hukum yang
mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang
konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan
perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen.
Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang
perbankan menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak
seringkali tidak seimbang. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian
pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para
pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh
pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining position) dalam hal ini
adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau
menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).
Pencantuman
klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya
merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah
debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya pengembangan usaha
masing-masing.
Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit/pembiayaan. Dalam
memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan
tentang perkreditan direalisir sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian
kredit.
Di sisi lain pengadilan yang merupakan pihak ketiga dalam
mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai apakah
upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang
disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Lembaga perbankan adalah lembaga yang
mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah wajib melindungi masyarakat
dari tindakan lembaga ataupun oknum yang tidak bertanggungjawab dan merusak
sendi kepercayaan masyarakat tersebut. Bila suatu saat kepercayaan masyarakat
menjadi luntur terhadap bank, maka hal itu merupakan suatu bencana perekonomian
negara, yang sangat sulit untuk dipulihkan kembali.
Bank Sentral sebagai pelaksana otoritas moneter berperan sekali
dalam rangka perlindungan nasabah (masyarakat). Menyangkut perlindungan
konsumen (nasabah) ini dapat digunakan penerapan hukum pidana, maupun hukum
perdata bahkan mungkin pula melalui hukum administrasi negara. Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, ada mengatur mengenai perlindungan terhadap nasabah,
salah satunya adalah dalam Pasal 29 ayat 3 dan 4, khususnya ketentuan yang
berpihak kuat untuk menjadi benteng pelindung nasabah.
Namun ketentuan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan
yang menjadi atau dapat menjadi benteng pelindung nasabah, hanyalah berupa
usaha penekanan kepada para pelaku di bidang perbankan untuk selalu menaati
prinsip kehati-hatian, Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan ini
pula dalam hal perlindungan nasabah tidaklah
secara khusus mempunyai instrumen yang berbentuk lembaga asuransi
deposito. Instrumen yang diterapkan adalah usaha perlindungan yang tidak
langsung, yaitu berupa kewajiban bank untuk menjaga kesehatan dan berpegang
pada prinsip kehati-hatian.
Penekanan pada usaha penjagaan dalam rangka perlindungan
nasabahini, dengan cara terjaganya kesehatan bank agar tidak bangkrut,
membawakonsekuensi kewajiban Bank Indonesia untuk lebih efektif lagi dalam hal pembinaan
dan pengawasan bank. Sebagai lembaga pengawas perbankan diIndonesia, maka Bank
Indonesia mempunyai peran yang besar sekali dalam usahamelindungi dan menjamin
agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah. Bank
Indonesia wajib lebih aktif lagi melakukan tugas dan kewenangannya untuk
mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh seluruh bank yang beroperasi
di Indonesia. Pengawasan yang efektif dan baik adalah merupakan langkah
preventif dalam membendung atau setidak-tidaknya mengurangi kasus kerugian
nasabah karena tindakan bank atau lembaga keuangan lainnya yang melawan hukum.
Ketentuan hukum pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUH Pidana), dapat pula dijadikan sandaran dalam rangka
perlindungan nasabah, diantara ketentuan tersebut adalah Pasal 263, 372 dan 374
KUH Pidana dan pasal-pasal lainnya. Laporan dengan data-data yang tidak benar
dari suatu bank kepada Bank Indonesia, yang secara langsung telah dan dapat
merugikan nasabah, perbuatan tersebut dapat dikenai dengan ketentuan Pasal 263
KUH Pidana jo Pasal 49 ayat (1)
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Sedangkan menyangkut
suatu perbuatan pengurus bank yang secara melawan hukum dengan seenaknya
memakai uang nasabah guna kepentingan pribadi dan kelompok perusahaannya,
perbuatan semacam itu dapat dikenai tuduhan penggelapan sesuai dengan Pasal 372
atau Pasal 374 KUH Pidana.
III.2 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
PELANGGARAN RAHASIA BANK
Hukum dibuat untuk menegakkan keadilan meskipun tetap ada
ketidaksempurnaan dan mungkin ada hukum yang tidak adil. Sungguh ironis jika
ada hukum yang dibuat secara baik dengan mendasarkan kepada azas-azas hukum
yang tepat, tetapi dalam pelaksanaannya ditafsirkan dan diselewengkan sehingga
meniadakan keadilan dan dijadikan perisai bagi mereka yang memiliki niat jahat.
Bank dianggap bisa digunakan dan memberi jalan bagi mereka yang ingin berbuat
kriminal.
Rahasia bank tidak boleh
dijadikan alat untuk melindungi pelaku kejahatan. Ketentuan rahasia bank
seharusnya tidak boleh dipegang secara absolut, informasi tentang data bank
harus lentur serta mengingat kepentingan yang lebih besar artinya keterbukaan
akan informasi dapat jalan asalkan untuk kepentingan masyarakat. Jadi
keterbukaan informasi dapat didahulukan dibandingkan tetap mempertahankan
kerahasiaan bank sehingga melindungi pelaku kejahatan.
Nasabah penyimpan adalah sumber dana bagi bank. Oleh karena itu
wajar jika undang-undang mengatur agar bank melindungi nasabahnya. Tetapi
disisi lain tentu ada juga nasabah penyimpanyang berstatus debitur beritikad
jahat (bad faith) dengan berlindung di balik rahasia bank melakukan
perbuatan tercela terhadap mitra bisnisnya, misalnya membayar dengan cek atau
bilyet giro kosong. Mitra bisnis yang menerima cek atau bilyet kosong tersebut
sudah tentu tidak mungkin mengetahui saldo simpanan nasabah penyimpan yang
berstatus debitur itu karena dilindungi oleh rahasia bank. Hal semacam itu
tentu akan mempengaruhi citra kepercayaan masyarakat terhadap bank. Oleh karena
itu melakukan tindakan black list dan melaporkannya kepada Bank
Indonesia selaku pengawas dan pembina perbankan. Penegakan hukum yang tegas
justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Jadi mengenai faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran rahasia bank itu ada 2 yaitu faktor intern dan faktor ekstern :
Faktor Intern
Yaitu
faktor yang berasal dari dalam bank itu
sendiri antara lain moral atau perilaku dari karyawan atau pejabat bank itu
sendiri, dimana jika ia mempunyai moral yang baik maka ia akan memegang teguh
rahasia bank itu sebaliknya jika dia mempunyai moral yang jelek orang seperti
inilah yang akan membongkar rahasia bank itu sendiri. sikap yang buruk dari
para karyawan bank atau pejabat bank seperti adanya rasa iri hati, cemburu
ataupun dendam yang membuat para karyawan ataupun pejabat bank dapat membongkar
rahasia bank itu.
Faktor Ektern
Yaitu
faktor yang berasal dari luar bank itu antara lain adanya persaingan usaha
antar bank sehingga dapat terjadi suatu kerjasama antara pihak bank dengan
pihak luar untuk membongkar rahasia bank itu.
III.3 UPAYA BANK DALAM MENJAGA KEAMANAN RAHASIA BANK
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan
dari nasabah. Bagi bank sendiri nasabah mempunyai arti yang sangat penting
karena tanpa nasabah, bank tidak ada apa-apa. Nasabah adalah aktivitas produk
yang ditawarkan oleh bank. Kontribusi nasabah terhadap kehidupan bank sangat
dominan karena dari aktivitas produk yang digunakan, bank memperoleh provisi,
bunga, fee dan lain-lain sebagai keuntungan bank. Dana yang disimpan oleh
nasabah kepada bank akan digunakan untuk aktiva produktif berupa pinjaman
sehingga akan menghidupkan modal perekonomian masyarakat.
Mengenai mekanisme perlindungan nasabah dalam sebuah bank dapat
dijelaskan bahwa bank sebagai lembaga intermediasi dalam melaksanakan kegiatan
usahanya senantiasa bertumpu pada unsur kepercayaan masyarakat,
terutama kepercayaan nasabah penyimpan yang
menempatkan simpanannya di bank. Sebagai lembaga kepercayaan, bank wajib
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanan nasabah yang berada pada bank.
Setiap bank wajib memegang teguh rahasia bank, yang penerapan dan
prosedur rahasia bank sepenuhnya mengacu pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992 jo
Undang-Undang No.10 Tahun 1999 tentang Perbankan. Adapun salah satu upaya yang
dilakukan oleh bank untuk menjaga
keamanan rahasia bank adalah apabila ada orang yang menanyakan identitas
nasabah atau aktivitasnya di bank selain dari ketiga pihak yang berwenang yaitu
kejaksaan, kepolisian dan pengadilan, maka bank tidak akan memberikan informasi
apapun. Bank akan merahasiakannya. Dengan melakukan upaya menjaga keamanan
rahasia bank berarti secara tidak langsung juga menjaga keamanan keuangan
nasabah karena rahasia bank mencakup perlindungan terhadap nasabah dan
simpanan/keuangannya.
Sebagai lembaga yang bertumpu pada kepercayaan masyarakat, Bank
juga berusaha memberikan jaminan pada masyarakat bahwa bank merupakan lembaga
yang aman dan mampu merahasiakan keterangan atau informasi mengenai nasabah dan
simpanannya. Sebuah bank mempunyai
pedoman, kebijakan, organisasi dan prosedur kerja khususnya mengenai rahasia
bank dan rahasia jabatan. Bila ada yang memerlukan informasi atau data yang
menyangkut rekening nasabah selain dari ketiga pihak yang berwenang yaitu
kejaksaan, kepolisian dan pengadilan maka informasi itu tidak akan diberikan.
Sebuah bank dalam melaksanakan kegiatan dan tugas-tugasnya
sehari-hari senantiasa diawasi oleh pengawas namun bukan dilakukan oleh
pengawas khusus. Akan tetapi Waskat (pengawasan melekat) oleh lingkungan sendiri
dan setiap pegawai, wajib tunduk dan patuh kepadanya. Bila terjadi kelalaian
yang dilakukan oleh pejabat bank maka akan dikenakan sanksi sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Seandainya ada rekening nasabah yang diduga
sebagai hasil kejahatan, rekening nasabah tersebut dapat disita meskipun rekening
nasabah merupakan rahasia bank, asal saja dilakukan oleh pihak yang berwenang
dan menurut prosedur yang berlaku.
Dari hasil laporan bank tersebut maka suatu lembaga yang bernama
PPATK yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dimana salah satu
tugasnya adalah melakukan penyelidikan. Maka PPATK tersebut akan menyelidiki
transaksi yang mencurigakan misalnya rekening yang diduga hasil kejahatan.
Apabila terbukti maka PPATK akan melaporkan ke Kepolisian dan apabila terbukti
maka rekening tersebut dapat disita. Secara umum, ketentuan rahasia bank seringkali menimbulkan
benturan antara kepentingan nasabah dan kepentingan bisnis bank. Namun walaupun
keadaannya demikian, sebuah bank sudah seharusnya tetap memegang teguh
ketentuan tentang rahasia bank.
Bank yang memegang teguh rahasia bank, maka segala informasi
mengenai nasabah dan penyimpanannya tidak akan diberikan kepada siapapun
kecuali pihak-pihak yang memang telah diberi kuasa atau wewenang untuk meminta
informasi tersebut sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu kepada Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan.
III.4 Sanksi Terhadap
Pelanggaran Rahasia Bank
Pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank dapat berakibat bagi
pelanggarnya memikul sanksi pidana maupun perdata. Di bawah ini akan diuraikan
apa wujud sanksi pidana maupun sanksi perdata tersebut.
1.
Sanksi Pidana
Menurut sistem undang-undang perbankan maka sanksi pidana atas
pelanggaran prinsip kerahasiaan bank ini bervariasi. Ada 2 ciri khas dalam hal
sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank dalam undang-undang perbankan
ini, sebagaimana juga terhadap sanksi-sanksi pidana lainnya dalam undang-undang
perbankan yang bersangkutan. Ciri khas dan sanksi pidana terhadap pelanggaran
prinsip rahasia bank, yaitu sebagai berikut :
a. Terdapat ancaman hukuman minimal disamping ancaman maksimal
b. Antara ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda bersifat
kumulatif, bukan alternatif
c. Tidak ada korelasi antara berat ringannya ancaman hukuman
penjara dengan hukuman denda.
Ancaman hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang
perbankan menurut undang-undang perbankan dapat dibagi dalam 3 kategori sebagai
berikut :
1. Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat)
tahun serta denda minimal 10 milyar rupiah dan maksimal 200 milyar rupiah.
2. Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun serta denda minimal 4
milyar rupiah dan
maksimal 8 milyar rupiah.
3. Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh)
tahun serta denda minimal 4 milyar rupiah dan maksimal 14 milyar rupiah.
2.
Sanksi Perdata
Nasabah yang merasa dirugikan mempunyai hak untuk menuntut ganti
kerugian dari bank yang membocorkan keterangan mengenai dana simpanannya
melalui proses gugat-menggugat (litigasi) di pengadilan perdata berdasarkan dua
alasan hukum. Alasan hukumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Hubungan hukum antara bank dan nasabah adalah suatu fiduciary
relation (hubungan kepercayaan). Bahwa hubungan hukum antara bank dan
nasabah adalah suatu fiduciary relation telah diakui secara luas oleh
putusan pengadilan di banyak negara. Sebagai suatu fiduciary relation,maka
bank mempunyai duty of fiduciary terhadap nasabah. Menurut asas hukum,
dalam suatu duty of fiduciary apabila pihak yang harus mengemban
kepercayaan ternyata mengungkapkan hal yang harus dirahasiakan mengenai pihak
lainnya, maka terhadap perbuatannya itu dapat dimintai pertanggung-jawaban
secara perdata.
2) Nasabah yang dirugikan itu dapat pula menggugat bank
berdasarkan dalih bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Jelas bahwa perbuatan yang bertentangan
dengan hukum yang dilanggar oleh bank itu adalah Pasal 40 Undang-Undang No. 10
Tahun 1998.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan rahasia bank tidak hanya dapat dikenakan sanksi pidana
tetapi juga dapat dikenakan sanksi perdata melalui proses gugat menggugat di
pengadilan kepada pelakunya. Maka dengan adanya sanksi-sanksi yang tegas dapat
menghindari penyalahgunaan tentang keuangan nasabah oleh pihak bank dan menjaga
rasa aman masyarakat mengenai keadaan keuangannya. Oleh karena itu kelancaran dan keamanan
kegiatan perbankan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua
aparat penegak hukum sehingga pelanggaran terhadap rahasia bank dapat
diminimalisir, dan nasabah dapat merasakan perlindungan hukum yang diberikan
oleh aparat penegak hukum.
BAB IV
PENUTUP
IV.
1 SIMPULAN
1. Hubungan
antara bank dengan nasabah adalah ternyata tidaklah seperti hubungan
kontraktual biasa. Akan tetapi dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban
bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain manapun
kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
dinamakan rahasia bank. Dengan demikian istilah rahasia bank mengacu pada
rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabah. Nasabah dalam hubungan
dengan bank tidak adanya pembedaan perlakuan baik itu nasabah penyimpan maupun
nasabah debitor, semua nasabah itu harus mendapatkan perlindungan hukum yang
sama.
2. Faktor
– faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran rahasia bank, ada 2 yaitu
faktor intern dan faktor ektern. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam bank itu sendiri
antara lain adanya sikap yang buruk dari para karyawan bank atau pejabat bank
seperti adanya rasa iri hati, cemburu ataupun dendam yang membuat para karyawan
ataupun pejabat bank dapat membongkar rahasia bank itu. Sedangkan faktor ektern
adalah faktor yang berasal dari luar bank itu antara lain adanya persaingan
usaha antar bank sehingga dapat terjadi suatu kerjasama antara pihak bank
dengan pihak luar untuk membongkar rahasia bank itu.
3. Adapun
salah satu upaya yang dilakukan sebuah
bank untuk menjaga keamanan rahasia bank adalah apabila ada orang yang
menanyakan identitas nasabah atau aktivitasnya di bank selain dari pihak-pihak
yang memang telah diberi kuasa atau wewenang untuk meminta informasi tersebut
sebagaimana yang telah ditentukan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 maka bank
tidak akan memberikan informasi apapun. Bank akan merahasiakannya. Dengan
melakukan upaya menjaga keamanan rahasia bank berarti secara tidak langsung
juga menjaga keamanan keuangan nasabah karena rahasia bank mencakup
perlindungan terhadap nasabah dan simpanan/keuangannya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://hukumperbankan.blogspot.com/2008/12/
pengertian-rahasia-bank-dan-ancaman.html.
http://hukum-perbankan.blogspot.com/2008/04/
apa yang perlu diketahui dari rahasia.html.
http://nurulilma93.wordpress.com/2012/03/31/
rahasia-bank-dan-contoh-implementasinya.html.
http://omperi.wikidot.com/ pengaturan
rahasia bank. pengaturan rahasia bank.html.
http://www.geocities.com/hukum97/rahasia
bank.pdf.
Undang-Undang RI No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang
RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia
0 comments:
Post a Comment